Jai menelaahnya dalam tiga hal. Pertama, apakah seks dalam novel dipandang serius ataukah hiburan belaka? Tentu saja, tergantung bagaimana pembaca melihatnya; punya kepentingan lain di luar novel tersebut ataukah tidak.
”Meski sebetulnya, kendati tanpa kepentingan apa pun, agak sulit menempatkan novel ini sebagai hiburan. Mengingat porsinya yang sangat terbatas, juga begitu banyak pertimbangan estetik dalam menampilkan seks vulgar,” katanya.
Selain itu Anak Gunung menampilkan begitu banyak pertentangan, pertanyaan kritis atas tatanan sosial politik juga ekonomi di dalamnya. Maka, lompatan (dobrakan) kecenderungan tradisi tekstual yang disebut-sebut ahistoris tersebut menempatkan novel ini kontekstual, lokal dan dengan demikian adalah sejarah.
Eko Darmoko Rudianto dengan buku yang sudah open order sejak 21 Juli sampai 6 Agustus lalu.
Kedua, kemungkinan rekonstruksi pemaknaan yang berangkat dari dunia tafsir penulis, yang setidaknya merupakan ikhtiar untuk mendekati gagasan makna penulis selain sebagai satu keteguhan tersendiri, bisa pula menjadi modal untuk dilebur, fusi dengan pemaknaan atau produksi makna oleh pembaca.
Ketiga, Anak Gunung adalah satu versi kenyataan sejarah. Sejarah mental. Sejarah Imajinasi. Dalam bahasa Kesejarahan Baru, kaitan sastra (karya) dengan sejarah adalah kaitan intertektual antara berbagai teks (fiksi maupun fakta) yang diproduksi pada kurun waktu yang sama maupun berbeda.
Di ranah dekonstruksi misalnya, Anak Gunung menampilkan perhatian besar pengarang pada tokoh perempuan yang tangguh. Dalam takdirnya yang terus tak berpihak padanya, tokoh yang tak punya perencanaan dalam hidup, dan tak memiliki keyakinan kuat memaknai kehidupannya.
”Maka inilah pula dalam pengertian dekonstruksi, tokoh yang demikian memaknai peristiwa sebagai sejarah baru yang selalu luput dari makna pastinya,” papar pemilik penerbit Pagan Press itu. (*)