SUMBA BARAT DAYA, HARIAN DISWA- Jauh sebelum pergi ke Sumba, saya menulis daerah tersebut dalam catatan whislist. Sebagai destinasi impian yang kelak jadi tujuan persinggahan. Eh akhirnya kesampaian juga. Ke sebuah surga di balik kondisi tanah yang terlihat tak subur. Ya, keelokan pemandangan alam Sumba memang tak terkatakan.
Tuhan baru membuka jalan bagi mimpi saya itu pada 27 Agustus 2022 lalu. Saya pergi bersama seorang kawan, Pudji Sudihastuti. Padahal sudah lama saya mendengar keelokan pulau ini. Pemandangan alamnya, kain tenunnya, dan segala hal yang indah-indah saja dalam bayangan saya.
Suasana Desa Adat Ratenggaro di Desa Umbu Ngedo, Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, yang masih bertahan dengan tradisinya yang asli.
Sebenarnya saya memiliki seorang kerabat di Waingapu City. Namanya Rambu Margaretha. Dari nama depannya, ia adalah perempuan dari kalangan bangsawan. Sama seperti nama depan Umbu untuk laki-laki, memiliki nama depan Umbu. Sayang sebelum ke Sumba, pesan singkat saya tak diterima karena nomornya tak lagi aktif.
Tapi untung perjalanan saya diurus Sophie Holiday. Jadi tanpa ada kerabat atau kenalan di Sumba, semua kebutuhan perjalanan saya aman. Mulai tiket pulang-pergi, transport di tujuan, hotel, makan-minum, dan sebagainya, beres.
Sebelum menuju Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dari Bandara Juanda, Surabaya, pesawat kami transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Barulah kami terbang ke Tambolaka. Total lama perjalanan hanya sekitar hampir tiga jam.
Begitu tami turun di Tambulako, udara panas Sumba sudah terasa. Berikut suara debur ombak, dan gesekan daun-daun. Semua mengisyaratkan bahwa saya telah sampai di salah satu surga tersembunyi di Nusantara.
Sebelum menuju destinasi pertama, Desa Ratenggaro, kami beristirahat sejenak di Hotel Ela, Tambulako. Meletakkan barang-barang, makan-minum, lantas tancap gas dengan mobil yang disediakan Sophie Holiday.
Buat yang mengurus perjalanan sendiri, tenang. Di Sumba banyak persewaan mobil lho. Tarifnya per hari Rp1,5 juta untuk jenis mobil Toyota Innova.
Ah saya bener-bener terbantu bersama Sophie Holiday. Terbayang repotnya menentukan hotel, transportasi, dan lain-lain. Apalagi jarak antar lokasi wisata satu dengan yang lain berjauhan. Paling tidak ditempuh selama 1 hingga 3 jam perjalanan.
Rumah-rumah di Desa Adat Ratenggaro. Di sini banyak tinggal penenun yang kebanyakan adalah para perempuan desa tersebut.
Sampailah saya di Desa Adat Ratenggaro. Jika ingin melihat keaslian rumah-rumah tradisional masyarakat Sumba, pergi saja ke desa itu. Atapnya semacam limasan Jawa namun bagian tengah menjulang tinggi. Di bagian bawah terdapat alas kayu. Cukup besar dan luas. Interior penghiasnya adalah berbagai patung karya warga setempat. Serta tentu kain-kain tenun Sumba yang elok.
Seorang ibu warga sekitar meminjamkan saya kain tenun untuk dipakai berfoto. Ditawari ya saya terima dong. Tapi setelah saya kembalikan, dia meminta bayaran Rp50 ribu. Saya dan Pudji tertawa dengan ’jebakan’ itu.
Enggak apa-apalah. Hitung-hitung beramal hahaha. Apalagi sepertinya warga setempat sangat bergantung dengan pariwisata. Termasuk penjualan kain-kain tenun Sumba.
Tapi kesadaran masyarakat Desa Ratenggaro terhadap pariwisata cukup bagus. Yang berjualan tidak memaksa pengunjung membeli. Tak ada peminta-minta. Lain dengan beberapa tempat wisata lain di sekitarnya.
Makam ketua adat di Desa Adat Ratenggaro yang dibangun sangat tinggi. Tanda bahwa dia adalah orang kehormatan.
Oh ya saya menjumpai semacam monumen berukuran besar. Seperti huruf T jika diamati dari jauh. Menurut warga setempat, benda itu semacam nisan sebagai penanda makam ketua adat Suku Ratenggaro.
Untuk seorang ketua adat jika meninggal dunia, memang akan dibuatkan nisan sebesar itu. Namun jika warga biasa meninggal, nisannya paling tinggi seukuran manusia saja. Tak sampai 2 meter.
Bila bukan orang kehormatan, tanda makamnya tak terlalu tinggi.