NAMA lengkapnya Imaz Fatimatuz Zahra. Di kalangan santri-santri Lirboyo, dia lebih dikenal sebagai Ning Imaz. Ning adalah sebutan untuk anak perempuan seorang kiai, sebagaimana gus adalah panggilan untuk anak laki-laki. Ning Imaz adalah istri Gus Rifqil Muslim, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Meski masih muda, tapi karena sudah memangku pesantren, pasangan itu sebenarnya sudah layak disebut Kiai dan Bu Nyai.
Ning Imaz menjadi berita viral beberapa hari terakhir ini karena menjadi korban perundungan dari aktivis media sosial Eko Kuntadhi. Tidak tanggung-tanggung, Kuntadi menyemprotkan sumpah serapah di cuitan Twitter-nya dengan menyebut Ning Imaz ”tolol tingkat kadal”. Belum cukup sampai di situ, Kuntadhi menambahi narasi lagi ”hidup hanya mimpi selangkangan”.
Ning Imaz secara rutin memberikan pengajian tafsir Al-Qur’an kepada santri-santrinyi dengan memakai rujukan kitab tafsir karya Ibnu Katsir yang sudah sangat sohor di lingkungan pesantren. Seperti para pendakwah sekarang pada umumnya, pengajian itu diunggah di akun media sosial. Ning Imaz sedang menjelaskan surah Ali Imran ayat 14 mengenai sifat manusia laki-laki yang oleh Allah dihiasi dengan kecintaan kepada wanita, anak-anak, dan harta emas permata.
Eko Kuntadhi rupanya gatal tangan. Nalurinya seperti refleks yang otomatis bereaksi ketika mendengar ayat yang berhubungan dengan wanita dan surga. Tanpa pikir panjang maupun pendek –atau mungkin tanpa berpikir sama sekali– keluarlah narasi tolol, kadal, dan selangkangan.
Dia baru terkejut ketika tahu siapa yang diserangnya itu. Buru-buru dia minta maaf dan menghapus cuitannya. Terlambat. Di jagat persilatan digital yang brutal, cuitan seperti itu langsung disahut oleh netizen dan di-capture. Eko Kuntadhi tidak bisa berkutik, dan langsung meminta maaf. Dia pun buru-buru mengunjungi Pesantren Lirboyo untuk meminta maaf.
Reaksi sudah telanjur keras. PWNU Jatim, PKB Jatim, PWNU DKI, dan beberapa tokoh NU seperti Gus Nadir di Australia berkomentar pedas terhadap unggahan Eko Kuntadhi itu. Perbedaan pendapat boleh-boleh saja, tetapi tidak berarti harus meninggalkan kesantunan. Lainnya berkomentar, sebaiknya Eko Kuntadhi ngaji dulu.
Narasi Eko Kuntadhi adalah narasi standar untuk merespons ayat-ayat surga. Para aktivis so-called anti-intoleransi, anti-radikalisme, dan anti-ekstremisme selalu menyalak ketika ada ayat-ayat yang menggambarkan surga. Bagi penggambaran surga tidak jauh-jauh dari selangkangan.
Narasi semacam itu tidak pantas dilemparkan kepada seorang nyai muda seperti Ning Imaz. Apalagi, Nyai Imaz merujuk pada kitab tafsir Ibnu Katsir yang menjadi rujukan standar umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Sangat mungkin Eko Kuntadhi ”kudet” alias kurang update karena tidak punya referensi yang cukup mengenai literatur keislaman.
Sangat mungkin juga Eko Kuntadhi tidak mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai anatomi dunia pesantren di Indonesia sehingga tidak tahu mengenai Pesantren Lirboyo dan perannya dalam dakwah Islam di Jawa Timur dan di seluruh Indonesia. Pesantren Lirboyo sudah berdiri sejak awal abad ke-20, dan melahirkan puluhan ribu santri yang tersebar ke seluruh Indonesia.
Banyak netizen yang bereaksi keras. Narasi Eko Kuntadhi dianggap mengandung unsur hate speech yang kental. Ada yang mendesak agar polisi segera menangkap Eko Kuntadhi tanpa harus menunggu ada laporan dari masyarakat. Narasi Eko Kuntadhi dianggap sudah memenuhi beberapa unsur pidana, termasuk penodaan agama.
Dalam pernyataan permintaan maafnya, Eko Kuntadhi mengakui bahwa dirinya kurang cermat, dan komen yang diunggahnya sebenarnya hanya dimaksud sebagai candaan. Bukannya membuat suasana reda, malah tambah menyala. Aktivis Islam Achmad Khozinuddin mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an sebagai bahan candaan adalah tindakan yang tidak termaafkan.
Dalam kasus lain, Edy Mulyadi membuat ”candaan” dengan menyebut idiom ”jin buang anak” untuk menggambarkan lokasi IKN (ibu kota negara) di Kalimantan yang terpencil. Edy Mulyadi sudah meminta maaf, tapi tetap ditangkap, diadili, dan divonis 7 bulan 15 hari. Idiom jin buang anak sering dipakai dalam percakapan untuk menggambarkan unsur candaan atau humor. Meski begitu, Edy Mulyadi tetap ditangkap dan diadili.
Menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai bahan candaan tentu tindakan yang tidak tepat, dan malah bisa dianggap melecehkan. Eko Kuntadhi tidak cukup hanya meminta maaf kepada Ning Imaz, tetapi harus meminta maaf kepada umat Islam. Itulah yang disampaikan Ning Imaz menanggapi permintaan maaf Eko Kuntadhi. Menurut Ning Imaz, Eko Kuntadhi harus meminta maaf kepada Imam Ibnu Katsir juga.
Eko Kuntadhi menemui Ning Imaz dan keluarga Lirboyo Kamis (15/9) untuk meminta maaf. Secara personal, Ning Imaz memaafkan. Tapi, Ning Imaz menegaskan bahwa Eko Kuntadhi harus meminta maaf kepada Imam Ibnu Katsir dan umat Islam Indonesia yang agamanya sudah dihina-hina.
Kalau Eko Kuntadhi paham mengenai ilmu mantik, ia akan tahu bahwa ada ”mafhum mukhalafah” pada pernyataan Ning Imaz itu. Secara personal, Eko Kuntadhi dimaafkan, tetapi umat Islam secara keseluruhan belum tentu memaafkan. Eko Kuntadhi pun harus bersiap menghadapi risikonya. (*)