SETELAH habis masa jabatan sebagai gubernur DKI Jakarta, apakah Anies Baswedan kehilangan panggung? Apakah pamor Anies akan meredup sebagai sosok yang digadang-gadang sebagai capres?
Tentu para lawan politiknya, termasuk para buzzer yang konsisten menyerangnya, berharap agar pamor Anies akan surut seiring berakhirnya panggung jabatan gubernur.
September ini Anies melalui dua momen. Pertama, hadir di rapat DPRD Jakarta yang agendanya pemberitahuan: jabatan gubernur berakhir Oktober 2022. Yang ini memang lebih ke seremonial. Momen kedua, Anies menyatakan secara terbuka siap maju dalam pilpres. Ia mengatakan hal tersebut saat diwawancarai media asing di Singapura. Berarti, Anies memang sudah siaga.
Jabatan habis Oktober 2022. Pilpres 2024. Ada jarak satu setengah tahun. Jarak yang cukup panjang yang bisa membuatnya kehilangan pamor bila tak bisa menjaga popularitas. Beda dengan Jokowi saat loncat menjadi presiden pada 2014, posisinya masih aktif sebagai gubernur Jakarta.
Kendati kehilangan panggung formal satu setengah tahun, Anies tentu tak bisa dipandang enteng. Dalam berbagai survei nasional, ia selalu berada di posisi tiga besar bersama Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan kader PDIP Ganjar Pranowo.
Bahkan, di survei internal pendukung Jokowi pun, Anies masih masuk empat besar. Di mata pro-Jokowi, elektabilitas mantan rektor Universitas Paramadina tersebut masih di atas ketua PDIP Puan Maharani, Kepala Staf Presiden Moeldoko, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Anies juga sudah membuktikan, jeda jabatan formal tidak membuatnya kehilangan pamor. Dicopot dari menteri pendidikan dan kebudayaan pada Juli 2016. Setahun kemudian, memenangkan kursi gubernur Jakarta.
Track record Anies sebagai organisatoris sudah terlacak saat muda. Sama halnya dengan Ganjar Pranowo dan Muhaimin Iskandar yang sangat aktif sejak mahasiswa di UGM. Bila Muhaimin aktivis PMII, Ganjar di GMNI, Anies dikenal pegiat HMI.
Anies termasuk politikus yang sangat serius menyiapkan diri. Seperti halnya saat mengikuti konvensi Partai Demokrat 2014. Ia satu-satunya calon yang bersafari dengan bus yang penuh branding dirinya. Dengan cara itulah ia bergerak dari kota ke kota, tempat acara konvensi yang digelar di Pulau Jawa.
Saya memprediksi ia bakal mempunyai banyak sekoci setelah turun dari panggung gubernur. Paling tidak, masih ada bendera dari organisasi atau LSM yang ia rintis seperti ”Indonesia Mengajar”.
Jadwal Anies yang bakal keliling Indonesia juga sudah terlacak ketika aktivis dan pendukung menemuinya. Pada 24 Agustus sejumlah kelompok yang mengeklaim diri berasal dari berbagai daerah di Indonesia mengundang Anies. Tentu acara tersebut disiapkan sebagai panggung pascagubernur.
Pada 20 September ini, Anies juga kedatangan tamu para aktivis berbagai organisasi. Mereka menyatakan dukungan setelah Anies secara terbuka mengungkapkan kesiapannya ikut pilpres.
Jaringan pendukungnya tidak perlu lagi diragukan. Panggung untuk Anies juga sudah siap. Yang menjadi persoalan adalah parpol pendukung.
Posisi Anies masih fifty-fifty. Sama halnya dengan Ganjar Pranowo yang belum ada tanda-tanda dicalonkan PDIP. Itu beda dengan posisi Prabowo yang sudah pasti diusung partainya sendiri, Gerindra.
Kalau melihat peta politik, yang paling berpotensi mendukung Anies: PKS, Nasdem, dan Demokrat. Mereka harus berkoalisi. Kalau hanya dua, tak mencapai syarat tiket calon presiden yang harus didukung minimal 20 persen kursi di parlemen.