Murka Solo

Selasa 18-10-2022,05:30 WIB
Reporter : Arif Afandi

SAYA tak setuju dengan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto. Yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak marah. Saat mengumpulkan ratusan perwira menengah dan tinggi polisi di Istana Negara.

Tapi, bisa saja Pak Benny beranggapan begitu. Karena beliau bukan orang Jawa. Yang bisa meresapi bagaimana kalau orang Jawa marah. Apalagi, meresapi kegundahan hati presiden kita yang orang Solo.

Bagi saya, cara presiden mengumpulkan para perwira polisi itu sudah mencerminkan kemarahan dari seorang presiden yang orang Jawa. Yang mengekepresikan suasana hatinya tidak secara vulgar. Hanya muncul melalui simbol-simbol. 

Bahwa semua tamu istana tidak boleh membawa telepon seluler itu memang protokolnya. Tapi, para perwira pemegang komando itu tak boleh membawa tongkat komando dan topi dinas, ini sesuatu yang baru. Plus tidak boleh didampingi para ajudan.

Itu semacam mereka dilucuti sumber kekusaannya. Dipereteli kewenangannya. Di depan presiden. Apalagi, mereka juga tidak diperbolehkan ke istana dengan kendaraan dinas maupun pribadi. Semuanya diangkut dengan bus.

Ada yang bilang bahwa para perwira itu sedang dipelonco presiden. Oleh seorang panglima tertinggi di negeri ini. Setelah secara beruntun terjadi kasus yang menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut. Mulai kasus Fredy Sambo, tragedi Kanjuruhan, hingga terbongkarnya jenderal jual barang bukti narkoba.

Saya berkali-kali memutar video yang menayangkan pidatonya di depan ratusan petinggi Polri itu. Video tersebut ditayangkan akun resmi Sekretaris Kabinet sehari setelah pertemuan presiden dengan 500 perwira tinggi Polri di Istana Presiden yang berlangsung secara tertutup.

Hampir 24 jam pidato presiden itu dirilis ke publik. Tentu banyak orang penasaran dengan isi pidato presiden. Apalagi, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo hanya memberikan penjelasan singkat kepada media seusai pengarahan presiden.

Saya bisa memahami kegundahan hati Pak Kapolri. Ibarat seorang ayah yang dipermalukan oleh kenakalan anaknya. Apalagi, jelang pengarahan di istana, publik juga dikejutkan penangkapan Kapolda Jatim Teddy Minahasa karena diduga terlibat penjualan barang bukti narkoba. Hanya empat hari setelah pengangkatanya sebagai Kapolda Jatim.

Mula-mula, pidato presiden ditayangkan secara sepotong-potong berdasarkan empat pesan utama yang disampaikannya. Baru kemudian muncul pidato yang utuh di YouTube. Empat pesan itu terkait gaya hidup polisi, pungli dan layanan, soliditas Polri, dan komunikasi publik yang cepat.

Presiden menyampaikan itu dengan penekanan kata-kata dan mimik yang serius. Soal gaya hidup, misalnya. Ia berkali-kali menggunakan diksi hati-hati. Ia bahkan secara detail menyoroti gaya hidup tentang mobil mewah, motor gede, sampai hal remeh seperti pakaian yang dikenakan polisi.

”Saya banyak mendapatkan laporan. Bahkan terlalu banyak tentang gaya hidup yang tidak mencerminkan sense of crisis. Hati-hati. Dalam era media sosial ini, siapa saja bisa menyampaikan ke publik. Meski sembunyi-sembunyi,” ucap presiden.

Rupanya, persoalan gaya hidup yang ditunjukkan sejumlah oknum petinggi Polri itu telah menjadi perhatian khusus presiden. Soal itu, semula mencuat ke permukaan setelah diangkat anggota Komisi II DPR Johan Budi. Ia adalah mantan juru bicara KPK dan juru bicara istana.

Lalu, diangkat Najwa Shihab melalui Narasi TV. Kritik tentang gaya hidup di lingkungan petinggi Polri itu sempat membuat gaduh setelah artis Nikita Mirzani meng-counter Nana –panggilan presenter cantik dan berani tersebut. Juga, diikuti mereka yang menamakan diri sebagai Sahabat Polisi.

Saya menangkap presiden sudah geregetan soal itu. Hal tersebut terlihat dari diksi yang digunakan serta mimik saat menyampaikannya. Juga, beberapa kali memberi jeda dalam setiap mengungkapkan kata. Tampak juga sering disertai dengan menghela napas.

Kategori :