Cat Air dan Kegelisahan Sigit Wahyu Crueng

Selasa 01-11-2022,12:24 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Heti Palestina Yunani

MELALUI cat air, menangkap fenomena sosial. Kegelisahan dan harapan berbaur dalam goresan. Sigit Wahyu Crueng menjajaki berbagai kemungkinan dan eksplorasi dalam sebuah lukisan. 

Pria yang akrab dipanggil Crueng sejak masa kuliah itu mengambil satu dari beberapa tumpukan kertas di meja kerjanya. Warna di atas palet telah tersaji. Ia mencampur warna biru dengan sedikit merah menggunakan kuas. Kemudian mulai menggoreskannya di atas kertas tersebut. 

Karya-karya Crueng kerap memadukan dua objek yang berbeda dalam satu lukisan. Seperti lukisan berjudul Objek Tani. Gambar perempuan tua yang melepas kulit jagung di sebelah kiri, serta gambar sepasang kakek-nenek yang bersenda gurau sambil memilah-milah beras. 

“Dua gambar ini sebenarnya berlainan. Tidak di tempat yang sama. Tapi saya mencoba menyatukannya,” ungkapnya. Nenek pemisah kulit jagung diadaptasinya dari foto seorang kawan. Latar foto itu adalah indoor atau di dalam ruangan. 


-Sigit Wahyu Crueng-

Sedangkan figur sepasang kakek-nenek diambil pula dari sebuah foto, yang berlatar luar ruangan. “Jika saya melukis persis seperti di foto, sama saja saya hanya sekadar memindahkan foto ke lukisan. Solusinya saya gabungkan saja sehingga seakan figur-figur itu berada dalam ruang dan waktu yang sama,” paparnya. 

Begitulah ciri khas beberapa lukisan Crueng. Kesulitannya, ia menggunakan media cat air. Kalau tak cermat dan teliti, atau salah dalam menggores dan mencampur warna, maka bisa gagal total. Buang kertas, ambil kertas baru lagi dan mengulangi dari awal. 

Pun sebenarnya, Hasil Tani adalah karya yang hampir gagal. Terutama saat Crueng memberi warna latar dan lantai kedua figurnya. Tak diduga, warna yang dihasilkan dari percampuran, hasilnya terlalu kontras. Tak bisa diulang. Tapi Crueng menyiasatinya dengan menggores warna lebih soft, sehingga lukisan yang awalnya bertolak-belakang, jadi terlihat menggradasi. 

Sentuhan itu justru dapat menyatukan dua gambar dalam satu ruang. Meski celah itu tetap ada, namun tak terlalu terlihat dan malah jadi bangunan estetik yang menarik. 

Melihat Hasil Tani sama seperti menikmati lagu The Beatles berjudul A Day in The Life. Dua lagu yang berbeda, dengan penyanyi yang berbeda, tapi disatukan dalam sebuah komposisi. Jembatan perpindahannya adalah noise yang menggema, ketika John Lennon selesai menyanyikan part pertama. 

Dari noise tersebut muncul lagu dengan instrumen yang berbeda, yang dinyanyikan oleh Paul McCartney, bassist The Beatles. Berirama riang dan sedikit ballads. Kemudian kembali lagi ke part awal, yang dinyanyikan oleh Lennon. 

Jembatan penghubung berupa noise antara dua materi yang berbeda dalam A Day in The Life, sama dengan sentuhan warna soft yang ditorehkan Crueng di bagian bawah, kemudian membias ke atas. Sehingga seakan ketiga figur itu sedang berdampingan. 

Di luar teknik, karya-karya Crueng yang bertemakan aktivitas masyarakat agraris, cenderung menampilkan figur-figur orang berusia tua. Seperti petani sepuh dalam karya berjudul Pahlawan Pangan. Ia terinspirasi dari fenomena yang terjadi saat ini. Bahwa pekerja-pekerja sawah didominasi oleh orang-orang tua.

“Pak Jokowi pernah berpidato waktu di ITB. Beliau bilang, kalau semua jadi pegawai bank, yang jadi petani siapa?,” ujar pria 42 tahun itu. Rupanya kegelisahannya sama dengan presiden. Ia melihat bahwa banyak kaum muda yang memilih bekerja sebagai ASN, pegawai kantoran dan sebagainya. “Mereka rata-rata gengsi. Menganggap kerja di sawah itu kurang menghasilkan,” ungkapnya. 

Kategori :