ORGANISASI Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan keras. Itu terkait dengan delapan obat sirup yang diproduksi di Indonesia. Sebab, mengandung senyawa berbahaya etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) melebihi ambang batas keamanan.
Itu telah dikonfirmasi analisis laboratorium terhadap sampel dari pihak berwenang di Indonesia. Menurut WHO, delapan obat sirup itu telah beredar di Indonesia. Bahkan, mungkin sudah didistribusikan secara tak resmi ke berbagai negara.
”Produk-produk ini mungkin telah didistribusikan melalui pasar informal ke negara atau wilayah lain,” tandas WHO dalam keterangan rilisnya. Tentu seluruh obat sirup itu tidak aman dikonsumsi. Terutama oleh anak-anak yang paling banyak menjadi korban gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA).
Senyawa EG dan DEG bisa menimbulkan keracunan sehingga mengganggu saluran pencernaan, penurunan frekuensi hingga sama sekali tidak bisa buang air kecil, dan gagal ginjal akut.
WHO pun meminta setiap industri farmasi untuk lebih cermat. Terutama dalam menguji adanya cemaran dua senyawa itu. Khususnya bagi yang menggunakan pelarut propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, gliserin, atau gliserol.
Dan harus dipastikan bahwa semua produk medis disetujui dari pemasok resmi berlisensi. Juga, melibatkan profesional kesehatan apabila ada keraguan dalam produk. ”Keaslian dan kondisi fisik produk harus diperiksa dengan cermat,” tandas WHO melalui pernyataannya.
Sebetulnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menelusuri berbagai obat sirup. Yakni, untuk menindaklanjuti dugaan larutan senyawa yang menjadi penyebab GGAPA pada anak.
Ada dua industri farmasi yang terancam pidana. Yaitu, PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, dan PT Universal Pharmaceutical Industries, Medan. Keduanya diduga memproduksi obat sirup yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan, Badan Reserse Kriminal Polri telah menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya, obat sirup, bahan baku, bahan pengemas, dan beberapa dokumen perusahaan.
BPOM telah mencabut izin edar, menarik seluruh produk dari pasar, hingga memusnahkan produk-produk dua perusahaan itu. Dalam ranah hukum, dua industri tersebut terancam penjara 10 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.
Anggota Komisi IX DPR Darul Siska menilai bahwa kementerian dan lembaga terkait kurang koordinasi. Kebijakan yang dikeluarkan juga tak sinkron satu sama lain. Dengan demikian, obat yang tidak aman itu berhasil lolos dan beredar di pasaran.
ilustrasi: Annisa--
Selain itu, ia meminta pemerintah agar memperjelas status anak-anak yang meninggal. Apabila kematiannya disebabkan cemaran dua senyawa itu, mereka bisa dianggap korban. Pemerintah harus memberikan santunan kepada seluruh keluarga dari ratusan anak-anak yang meninggal.
”Itulah yang kami dorong dan tanyakan. Nanti kita dengar sama-sama jawabannya,” ujarnya. Tentu kematian ratusan anak-anak itu adalah tragedi. Jangan sampai terulang di kemudian hari.
Menurut Darul, peristiwa tersebut harus dijadikan pelajaran yang besar. Setidaknya harus ada perubahan dalam kebijakan proses produksi obat. Juga, tentu saja ditindak secara hukum.
Para pelaku yang menyebabkan nyawa meninggal harus dipidana dan didenda. ”Nah, sayangnya, undang-undang kita dendanya sangat kecil. Tidak seperti yang di luar, dendanya bisa sampai satu miliar dolar,” tandasnya. (*)