MARANELLO, HARIAN DISWAY – Kekalahan Ferrari di musim ini menjadi ultimatum terakhir bagi Mattia Binotto. Kepala Tim Principal Ferrari itu akhirnya mengundurkan diri pada Selasa, 29 November 2022. Ia akan meninggalkan posisinya di akhir tahun ini, sembari menunggu tim kuda jingkrak mencari pengganti dirinya.
Tidak hanya mengundurkan diri sebagai kepala tim principal, Binotto juga akan meninggalkan tim yang telah menaunginya selama 28 tahun terakhir. Ia membangun karir sebagai engineer- lalu diangkat menjadi kepala engineer hingga menjadi salah satu petinggi Ferrari.
Kepergian Binotto tentu menjadi pukulan telak bagi Ferrari. Pasalnya, ia telah membangun stabilitas tim yang dibangunnya selama empat tahun. Selain kehilangan tim principal, Ferrari juga harus rela kehilangan salah satu bakat terbaiknya di bidang permesinan.
Karena tanpa kontribusinya, Ferrari tidak akan mendapatkan performa mobil secepat musim ini, serta tahun 2017-2018 silam ketika ia menjadi kepala engineer.
Padahal musim ini menjadi musim terbaik yang dipimpin oleh Binotto. Memenangkan empat kali Grand Prix, mendominasi 12 kali pole position dari 20 balapan. Mereka memulai musim dengan cukup baik, bahkan pembalap utamanya, Charles Leclerc menjadi pemuncak klasemen pembalap mengungguli Max Verstappen.
Namun, harapan hanya sekedar harapan. Mengalami berbagai blunder yang dibuat sendiri, Ferrari tidak banyak belajar dari masa lalu. Masalah reabilitas mesin, strategi konyol, dan kesalahan pembalap membuat mereka berakhir di urutan kedua pembalap dan konstruktor. Meski begitu, hasil ini masih jauh lebih baik dari musim sebelumnya.
Lalu, mengapa Ferrari mendepak Binotto secara halus dengan membuatnya mengundurkan diri? selain performa buruk yang tak kunjung mengalami perubahan signifikan, besar kemungkinan petinggi Ferrari sudah tidak percaya kepada pria kebangsaan Italia itu.
Keraguan petinggi itu bermula ketika salah satu backingan Binotto, Louis Camillieri pensiun pada Desember 2020 lalu sebagai CEO Ferrari. Camillieri dan pendahulunya, Marchionner adalah pendukung Binotto. Mereka percaya akan kemampuan Binotto untuk mengubah nasib Ferrari pada 2019 lalu.
Mereka berdualah yang melindungi Binotto dari berbagai permasalahan internal maupun eksternal agar Kepala tim principal Ferrari itu dapat fokus pada pekerjaannya. Ketika Camillieri pergi, Binotto sendirian. Ia pun mendapatkan tekanan dari berbagai arah di paddock Formula Satu (F1) tanpa adanya dukungan dari siapapun.
Dengan kesendiriannya itu, ia berusaha untuk mengubah budaya Ferrari melalui pendekatannya yang berbeda. Karakter Binotto tidak pernah mengkritik tim secara terbuka, dan memiliki pendekatan tersendiri melalui cara negosiatif untuk menghandle anak-anaknya dengan cara personal.
Dengan kritik-saran personal itu, akan membuatnya didukung oleh orang-orang di paddock, daripada harus mengkambinghitamkan seseorang atas kesalahan anak buahnya. Karakternya serta visinya berhasil membuatnya bertahan hingga musim 2022. Meskipun banyak sumber mengatakan petinggi Ferrari telah mempertimbangkan untuk mencari pengganti Binotto sejak musim lalu.
Mereka telah mempertimbangkan beberapa kandidat- diantaranya nama-nama besar seperti Fred Vasseur, Ross Brown, dan Laurent Mekies. Mereka memungkinkan akan menjadi otak penggerak Ferrari di musim depan.
Namun, sepertinya petinggi kuda jingkrak itu lebih melirik dua nama yang familiar di paddock Ferrari. Yang pertama, Fred Vasseur, Bos tim Alfa Romeo. Vasseur memiliki pengalaman di tim besar, seperti Renault (sekarang disebut Alpine). Ia juga memerankan dengan baik perannya sebagai bos Alfa Romeo dan mendapatkan kesepakatan dengan tim pabrikan Audi tahun 2026.
Vasseur sudah malang melintang di dunia motorsport. Sudah 25 tahun pengalamannya menjadi manajer. Ia pun memiliki hubungan yang baik dengan Charles Leclerc karena telah memberikan pembalap asal Monako itu debut di Alfa Romeo pada 2018.
Lalu dibelakangnya, menyusul nama lama di tim Ferrari, Laurent Mekies, yang saat ini menjabat sebagai race director dan asisten tim principal di Ferrari. Namun, keputusan memilih Mekies akan menjadi pertaruhan besar bagi tim yang bermarkas di Maranello itu karena minimnya pengalaman menangani tim besar di posisi penting. (Affan Fauzan)