Beralih ke rumah AR di Jalan Batua Raya XIV, Makassar. Kosong. Ortu AR sedang menjaga toko kelontong mereka, tak jauh dari situ, di Jalan Batua Raya X B.
Setiba di rumah tersebut, Fadli disuruh menunggu, duduk di lantai, sambil menonton video di laptop di situ. Tidak dijelaskan, mengapa Fadli disuruh menunggu. Mungkin, AR dan AF mengumpulkan keberanian untuk membunuh bocah Fadli.
Akhirnya, AR mendatangi Fadli dari belakang, mencekik sekuat tenaga pada leher kecil itu. Fadli berontak. Seketika AR membenturkan kepala Fadli ke tembok. ”Lima kali,” ujarnya kepada polisi.
Fadli lemas. Tidak berontak lagi. Ternyata tewas seketika.
AR menghubungi e-mail calon pembeli organ. Mengatakan, ia baru saja membunuh bocah. Organ sudah siap dijual.
AR kepada polisi: ”E-mail saya ndak dibalas. Saya ndak tahu tempatnya ginjal.”
Waktu bergerak. Ditunggu beberapa saat, e-mail AR tetap tak terbalas. AR dan AF panik. Sebelum hari gelap dan ortu AR pulang, mayat harus disembunyikan.
Akhirnya mereka mengikat tangan dan kaki Fadli. Lalu, dimasukkan ke kantong plastik besar. Bungkusan itu dibawa motor. Berkeliling. Akhirnya dari atas jembatan di Jalan Inspeksi PAM Timur, bungkusan dilemparkan ke bawah. Dua hari kemudian, bungkusan ditemukan warga.
Jadi, jasad Fadli masih utuh. Belum dibedah. Sebab, AR tidak tahu tempatnya ginjal.
Setelah AR dan AF ditangkap polisi dan beritanya tersebar, warga marah. Rumah AR dirusak warga. Sampai benar-benar rusak. Tiang rumah dibongkar, roboh. Rumah yang dijadikan toko kelontong juga dirusak warga. Tim polisi segera tiba, melerai warga.
Kekejaman AR dan AF membuat warga ngeri, seumpama yang jadi korban anak-anak mereka. Amuk warga kompensasi kengerian mereka, terbayang organ tubuh.
Penyidik menginterogasi para tersangka. Divideokan. Videonya tersebar di berita media massa. Warganet berkomentar: Tersangka tidak tampak menyesal.
Penyidik: ”Mengapa membunuh?”
”Jual ginjalnya.”
”Tahu dari mana?”
”Internet. Tapi, e-mail-nya ndak dibalas. Terus panik.”