DALAM khazanah keislaman, kita mengenal pitutur luhur "uthlubul 'ilma minal mahdi ilal lahdi." Yang artinya: carilah ilmu sejak masih di ayunan ibu hingga ke liang lahat. Menegaskan kita wajib belajar sepanjang hayat.
Pun dalam tradisi Tiongkok, kita acap mendengar wejangan klasik "活到老, 学到老" (huó dào lǎo, xué dào lǎo). Yang terjemahannya: hidup sampai tua, belajar sampai tua.
Maklum, kata Liu Kai 刘开 (1784-1824), prosais masyhur era dinasti Qing, "理无专在, 而学无止境也, 然则问可少耶" (lǐ wú zhuān zài, ér xué wú zhǐ jìng yě, rán zé wèn kě shǎo yé)?
Pertanyaan retoris yang bermakna "kebenaran bukanlah monopoli pihak manapun, sementara ilmu tidak ada batasnya, maka bagaimana mungkin engkau merasa sudah selesai menimbanya?" itu, termaktub dalam esai terkenalnya yang berjudul Wen Shuo (问说).
Inilah yang senantiasa dipegang teguh oleh Didi Kwartanada, sejarawan yang memfokuskan penelitiannya pada kehidupan sosial etnis Tionghoa di Indonesia.
"Ketika orang-orang memberikan apresiasi bahwa saya pintar, pengetahuannya banyak ... dan semacamnya, saya selalu menepis pujian tersebut dan mengatakan bahwa, 'Seperti Ibu dan Bapak sekalian, saya juga masih harus terus belajar'," ujar Didi.
Tentu bukan untuk berbasa-basi, melainkan benar-benar pernyataan tulus yang keluar dari lubuk hati. Sebab, Didi yakin, masih banyak sekali pengetahuan yang perlu dirinya pelajari. Jangankan yang baru, yang lamapun begitu.
"Umpamanya saat membuka-buka lagi buku yang sudah saya baca, ternyata ada bagian yang dulu terlewat dan saya baru mengetahuinya," tutur Didi, mencontohkan.
Tak heran bila ribuan tahun lalu filsuf agung Konfusius mengingatkan dalam kitab Lunyu (论语), "温故而知新" (wēn gù ér zhī xīn): dengan mempelajari yang lama, akan mengetahui yang baru.
Apalagi bagi sejarawan seperti Didi. Yang tugasnya memang untuk menggali sedalam mungkin berbagai literatur --baik dengan membaca dokumen, maupun dengan mewawancarai langsung pelaku dan saksi.
"Jadi ini adalah sebuah never-ending journey. Semakin belajar, semakin saya sadar, masih begitu banyak yang mesti saya pelajari, pelajari, dan pelajari!" tegas Didi.
Untuk itulah, Didi tidak pernah jemu untuk belajar dan meneliti. "Saya akan senang jika fakta-fakta sejarah yang saya temukan bisa berguna bagi orang lain. Syukur-syukur bisa mencakup semua kalangan, tidak hanya terkait masyarakat Tionghoa semata. Misalnya mengenai kasus dihilangkannya empat nama anggota Tionghoa di BPUPKI dalam buku acuan resmi sejarah nasional kita," terang Didi.
Didi berharap, dengan belajar seumur hidup, akan bisa membantunya menyingkap puzzle-puzzle sejarah demi kemaslahatan bersama. Jelas ia khawatir pada apa yang dibilang Kung Tzu-chen 龚自珍 (1792-1841), intelektual dinasti Qing, "灭人之国, 必先去其史" (miè rén zhī guó, bì xiān qù qí shǐ): kalau ingin membinasakan suatu bangsa, mula-mula hapus saja sejarahnya. (*)