Warga Larantuka, Nusa Tenggara Timur, kembali berbahagia. Mereka bisa melaksanakan lagi prosesi Semana Santa. Prosesi itu khas. Hanya ada di kota yang terletak di ujung timur Pulau Flores tersebut.
PERISTIWA ini diyakini terjadi lebih dari 500 tahun silam. Kala itu, seorang anak dari suku Resiona di Larantuka turun ke laut. Ia ingin ikan dan siput di sela-sela karang pantai saat air laut surut. Saat itu sesosok perempuan cantik muncul di hadapan anak tersebut. Meski tersenyum, wajah ’’bidadari’’ itu tak mampu menyembunyikan kedukaan. Bertanyalah si anak tentang nama perempuan misterius tersebut. Sang bidadari hanya diam. Dia lantas menuliskan sesuatu di pasir pantai. Tulisan itu tak dimengerti si anak. Saat sang anak mendongak untuk bertanya lagi, sosok perempuan tersebut sudah tiada. Kehadirannya berganti menjadi patung perempuan cantik. Agar tulisan tersebut tidak hilang, si anak memberikan batas bebatuan di sekelilingnya. Si patung lantas dibawa pulang dan ditaruh pada koke bale , semacam pendapa komunal milik suku. Lalu, jadilah patung perempuan itu sebagai benda keramat, lambang kehadiran bidadari untuk melindungi suku tersebut.PERAHU BERSALIB HITAM untuk mengarak peti Tuan Menino sebelum berlayar mengarungi Selat Gonsalo dalam prosesi Semana Santa di Larantuka, Nusa Tenggara Timur.-HANDRIANUS EMANUEL-AFP- Bertahun-tahun kemudian datanglah para paderi dari Ordo Dominikan, yang kala itu getol menyebarkan agama berbarengan dengan kedatangan bangsa Portugis. Si anak yang sudah dewasa pun menunjukkan patung keramat milik suku tersebut. Pastor Katolik itu juga dibawa ke pantai tempat sang bidadari menuliskan namanya. Di situ masih terbaca: Reinha Rosario Maria . Mereka pun yakin patung tersebut adalah perlambang Bunda Maria, sang Ratu Rosari. Dan disebutlah patung itu sebagai Bunda Maria yang lantas mendapat panggilan sayang sebagai Mama. Itu pula yang memunculkan sebutan Tuan Ma. Cerita asal-muasal Tuan Ma atau patung Maria Dolorosa (Bunda Maria Berdukacita) di Larantuka memang begitu banyak. Kisah itu sudah menjulur-julur hingga puluhan generasi, bercampur legenda dan mistifikasi. Salah satu catatan sejarah yang ditulis Francois Valentyn, penulis Belanda, menyebutkan musibah kapal karam di perairan sekitar Larantuka pada awal abad ke-16. Dikisahkan pula sebuah patung yang terlontar dari kapal yang terdampar di pantai. Yang terang, kehadiran Tuan Ma tersebut mendahului kedatangan misionaris Portugis yang secara resmi tercatat kali pertama pada 1561 atau 472 tahun silam. Umat pun yakin patung Maria Dolorosa itu sudah berumur lebih dari 500 tahun Tuan Ma itulah yang menjadi perayaan Semana Santa di Larantuka. Patung Tuan Ma bertinggi sekitar 160 sentimeter. Patung itu memakai selubung mulai kepala hingga menjuntai menutupi kaki. Hanya wajahnya yang kelihatan. Cantik. Hidungnya mancung khas wanita Mediterania. Alisnya berkerut menampakkan kedukaan. Karena itu, Tuan Ma juga disebut Maria Dolorosa atau Mater Dolorosa. Nama itu juga terpatri pada lingkaran halo (cahaya) di belakang kepalanya yang bertulisan Mater Dolorosa Ora pro Nobis (Bunda yang berdukacita, doakanlah kami). Tangan kanan patung tersebut menyembul dari balik selubung biru kelam bermotif bintang emas. Tangan itu terbuka, seolah menyambut setiap umat yang akan datang kepadanya.
PERARAKAN PERAHU di Selat Gonsalo yang memisahkan Larantuka dan Pulau Adonara di Nusa Tenggara Timur, 7 April 2023.-HANDRIANUS EMANUEL-AFP- Patung itu diarak malam hari pada Jumat Agung, 7 April 2023. Keliling kota. Menurut Agence France-Presse ada lebih dari 7 ribu orang yang hadir. Ini kali pertama Semana Santa digelar setelah pandemi reda. Pada Jumat siang, umat juga mengarak peti Tuan Menino. Ini adalah perlambang Yesus sebagai putra Bunda Maria. Peti itu diarak dengan perahu, mengarungi Selat Gonsalo (Gonsalus) yang memisahkan Pulau Flores dengan Pulau Adonara. Ribuan peziarah juga memadati prosesi ini. Mereka menyemut di pinggir pantai. Atau ikut perahu yang mengiringi perjalanan Tuan Menino. Para peziarah itu tidak hanya datang dari Larantuka, kota yang juga dijuluki sebagai Serambi Vatikan tersebut. ’’Ini adalah perjalanan spiritual. Rasanya merinding,’’ kata Erasma Arpete Nilam, warga Kalimantan. (Doan Widhiandono)