Masalahnya selama ini cara bertani masyarakat masih konvensional. Sugiri menggandeng pakar pertanian dan akademisi untuk membuat rekayasa genetik agar durian di Ngebel bisa berbuah sepanjang tahun. Ketika Durian di Ngebel tak ada habisnya, maka kedatangan wisatawan tak mengenal musim. “Kalau bulan-bulan ini ke sana (April), ya tinggal sedikit,” ujar Sugiri.
Sebelum berbincang dengan Sugiri, tim penulis menemui Wiji, salah seorang petani dan juragan buah di Ngebel. Yang diceritakan Sugiri tak salah. Memang musim durian sudah lewat. Durian yang ada di lapaknya adalah buah terakhir pada musim ini.
Hanya ada beberapa durian montong dan beberapa durian lokal yang tersisa. Tinggal empat kotak. “Kalau sedang musim, sehari bisa jual seribu buah. Parkiran terminal ini penuh. Sampai gelar tikar,” ujar Wiji, yang memiliki lapak di Terminal Ngebel.
Memasuki musim kemarau, stok durian semakin menipis. Jumlah pengunjung pun ikut sepi. Wiji hanya bisa menjual durian beku yang disimpan di lemari pendinginnya. Ia hanya bisa menunggu musim durian berikutnya di pengujung tahun. Biasanya ramai di bulan Desember.
Spot foto di salah satu sudut Telaga Ngebel Ponorogo. -Boy Slamet/Harian Disway-
Dia lalu mengeluarkan durian beku dengan berat tiga setengah kilogram itu. Harganya cuma Rp 120 ribu. Mudah meriah. “Biasanya orang Surabaya atau Sidoarjo beli ke sini untuk campuran es oyen. Dari sekotak ini, mereka untung sejuta,” jelas Wiji.
Sekali lagi, yang diucapkan Sugiri tak salah. PR terbesarnya sebagai bupati adalah mengubah mindset. Anda bisa membayangkan bagaimana jika hasil durian di Ngebel diolah menjadi produk dengan nilai tambah. Misalnya ketan, serabi, pancake, kue sus, hingga durian strudel.
Rupanya yang konsep hilirisasi sumber daya alam tidak hanya berlaku untuk produk tambang. Seperti yang digambar-gemborkan Presiden Jokowi dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Hilirisasi durian juga perlu. (Salman Muhiddin)
Malioboro van Ponorogo, baca edisi 24 April… (*)