Sederet pengurus PBNU akhirnya mengundang konsulnya (seluruh daerah Jawa dan Madura) pada 21-22 Oktober 1945 untuk datang ke kantor PB ANO (Ansor Nahdlatoel Oelama) di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya.
Kemudian, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai rais akbar NU menyampaikan fatwanya tentang kewajiban seorang muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk berjihad (berperang) mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
NU sebagai ormas memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Jawa Timur secara umum dan Surabaya pada khususnya. Tradisi yang membudaya bahwa seorang kiai haruslah di-”panuti” agar tidak ”kualat” merupakan realitas yang ada pada waktu itu.
Bahkan, sampai sekarang pun kita bisa menemukannya di daerah yang berkultur NU. Faktor psikologis massa di sini memiliki peran dalam mendorong terjadinya peristiwa sejarah.
Benedict Anderson dalam buku Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944–1946 mengungkapkan bahwa tanggal 22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan PBNU di Surabaya. Tanggal 25 Oktober 1945 kantor berita Antara menyiarkan berita Resolusi Jihad NU.
Pada 27 Oktober 1945, koran Kedaulatan Rakyat maupun koran Suara Masyarakat di Jakarta juga memuat resolusi jihad secara lengkap.
Selain resolusi jihad, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad menjelang hari H pertempuran 10 November bahwa berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain yang harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak, bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh.
Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tersebut, kewajiban itu jadi fardu kifayah.
Resolusi dan fatwa jihad itu pada akhirnya turut membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945, tidak peduli warga NU ataupun masyarakat umum yang lainnya. Sementara itu, warga NU –khususnya pemuda dan santri pondok pesantren yang bergabung dengan tentara Hizbullah– juga sudah dilatih bertempur oleh Heiho (militer Jepang).
Dalam buku 10 November 1945 Mengapa Inggris Membom Surabaya? dijelaskan bahwa, sebelum meletusnya pertempuran 10 November 1945, telah terjadi pertempuran pada 28–30 Oktober 1945. Dalam peristiwa tersebut, para pemuda serta pejuang sukarelawan dari Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo, dan Mojokerto ikut berjuang di Surabaya.
Seiring berjalannya waktu, semangat perjuangan dan peran santri tidak berhenti ketika Indonesia mencapai kemerdekaan pada 1945. Mereka terus berperan dalam membangun negara. Banyak santri yang menjadi tokoh intelektual, pemimpin masyarakat, dan ulama yang berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Peran santri dalam pendidikan di Surabaya juga patut diapresiasi. Pesantren di Surabaya dan sekitarnya telah berperan dalam mencetak generasi dengan memiliki landasan agama kuat, kepemimpinan baik, dan semangat berkontribusi kepada masyarakat. Mereka telah mencetak generasi yang siap berperan dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.
Kota Surabaya juga menjadi tuan rumah berbagai kegiatan keagamaan dan budaya. Acara-acara itu sering kali melibatkan peran besar para santri dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai keagamaan. Selain itu, Surabaya terkenal sebagai kota yang menerima berbagai etnis dan agama dengan damai. Kerukunan antarumat beragama adalah salah satu kunci kesuksesan Surabaya sebagai kota besar.
Surabaya adalah bukti bahwa kota besar di Indonesia dapat menjadi tempat di mana perjuangan dan agama bersatu untuk menciptakan kesejahteraan. Semangat perjuangan Surabaya harus terus dijaga serta peran santri harus diakui dan dihargai dalam perjalanan sejarahnya.
”Kota Perjuangan Santri” adalah julukan yang pantas. Semoga semangat itu terus menyala di hati kita semua. (*)