Saat masih usia anak-anak, mereka kerap berpapasan dengan blater. Entah saat hendak bermain, atau bertemu di jalan pada sebuah kesempatan. Setiap bertemu, blater selalu menyempatkan untuk menyapa, tersenyum, bahkan disertai anggukan kepala.
"Kepada anak kecil saja mereka ramah. Apalagi terhadap orang dewasa. Padahal, usianya telah sepuh," ujar Andu. Sikap itu menunjukkan posisinya sebagai tokoh masyarakat. Tentu ia wajib menjadi teladan bagi siapa saja. "Menjadi seorang blater tidak mungkin punya sikap kasar dan sombong. Harus jadi contoh," terang Rony.
Kedua pemuda itu turut gelisah, dengan adanya peristiwa-peristiwa yang disebut carok. Padahal bukan carok. Seperti kejadian tawuran yang menewaskan empat orang, di Tanjung Bumi, Bangkalan, pada 12 Januari. "Hal itu memperburuk citra orang Madura. Padahal, masyarakat Madura tak seperti itu. Kami memiliki etika, sopan santun, dan nilai-nilai relijius yang erat," ujar Andu.
Ada berbagai masalah yang menimbulkan carok. Tapi hanya satu yang tak dapat ditoleransi. Yakni ketika menyangkut masalah istri. "Kalau istri, itu sudah masuk dalam ranah privat seseorang. Tak bisa diganggu-gugat," ungkap Rony.
Senada, budayawan Madura Hidrochin Sabarudin mengungkap bahwa dalam perspektif Madura, istri adalah tanda kehormatan. "Memang bisa menjadi penyebab carok. Tapi biasanya kalau istri diganggu, bahkan diselingkuhi, sejauh ada bukti, penyelesaiannya tidak memakai mediasi. Langsung tindakan. Itu sudah ketentuan kultural," ujarnya. (Guruh Dimas Nugraha)