Lantas, Abah Doink menunjukkan buku berjudul Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, karya Dr Latief Wiyata. Buku itu mencantumkan syair yang ditulis Imron, sastrawan Madura. Syair yang merepresentasikan martabat dan kehormatan istri sebagai manifestasi martabat dan kehormatan suami.
Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya.
Begitulah bunyi syair tersebut. Dalam budaya Madura, seorang istri kerap disebut sebagai bhantalla pate, atau landasan kematian. Artinya, jika terdapat laki-laki yang nekad mengganggu istri orang, maka tindakannya itu sama saja dengan aghaja' nyaba atau tindakan mempertaruhkan nyawa. Bermain-main dengan nyawa.
Dalam budaya Madura, seorang istri juga perempuan pada umumnya mendapat proteksi khusus. Baik dari pihak keluarga maupun suami. Bahkan sejak kecil. Itu terlihat jelas dalam pola pemukiman taneyan lanjhang. Yakni formasi struktur rumah tradisional yang memiliki berbagai aturan. Melanggarnya bisa berujung carok. (Guruh Dimas Nugraha)