"Bahwa orang Madura sangat mengecam ketidaksopanan. Terutama dalam berbahasa. Kami memiliki tingkatan bahasa layaknya bahasa Jawa. Jika dilanggar, itu disebut janggal, atau tidak mengerti sopan santun," ungkapnya. Janggal pun dapat menyebabkan terjadinya carok, jika itu menyangkut harga diri seseorang.
Untuk menghindari hal itu, masyarakat Madura sebenarnya dididik sejak kecil untuk sedapat mungkin bersikap sopan. "Dalam bahasa Madura: andhap asor. Yakni dengan cara abhasa, atau berbahasa halus. Terutama ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang baru dikenal. Juga pada ulama atau orang yang lebih tua," ujar pria asli Bangkalan itu.
Peran ulama sangat penting dan dihormati di Madura. Juga para bhindhara, atau mereka yang telah menamatkan pendidikan Pondok Pesantren. Alumni pondok dianggap memiliki pengetahuan relijius yang memadai, meski belum setaraf kiai atau ulama.
"Maka kepada kiai atau bhindara, masyarakat Madura dari kalangan di luar itu selalu berbahasa halus. Dua tokoh itu selalu mendapat banyak kunjungan dari orang-orang. Kunjungan itu disebut nyabis," ujarnya.
Nyabis tak hanya dalam rangka belajar atau bersilaturahmi saja. Ada kalanya memuat tujuan-tujuan tertentu. Seperti meminta restu untuk hal yang akan dilakukan, meminta apaghar atau pagar perlindungan diri, serta meminta jaza'. Yakni azimat untuk kekebalan. Nyabis pun dilakukan seseorang ketika hendak melakukan carok. Supaya selamat. (Guruh Dimas Nugraha)