KONTROL ATAS MEDIA DAN KOMUNIKASI
Penulis menyoroti cara-cara pada masa itu, ketika media dapat digunakan untuk menghambat komunikasi yang rasional. Di bawah rezim Orde Baru, media tidak berfungsi sebagai ruang publik yang dapat dipakai warga negara untuk berdiskusi dan mencapai konsensus.
Sebaliknya, media digunakan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan narasi pemerintah dan menekan pandangan-pandangan alternatif. Kontrol ketat terhadap konten media memastikan bahwa hanya informasi yang mendukung pemerintah yang sampai ke publik, menghalangi terjadinya diskursus yang bebas dan terbuka.
INDOKTRINASI BUDAYA DAN IDEOLOGI MELALUI PENDIDIKAN
Sejauh pengamatan penulis, pendidikan seharusnya mendukung perkembangan kapasitas kritis dan rasional dari individu. Namun, di bawah Orde Baru, pendidikan digunakan untuk menanamkan ideologi yang mendukung kekuasaan Soeharto.
Kurikulum pendidikan dirancang untuk menciptakan warga negara yang patuh dan loyal kepada negara, mengorbankan keberagaman, dan kritik yang konstruktif. Pendidikan Pancasila, sebagai bagian dari kurikulum wajib, menjadi alat utama untuk menyebarkan nilai-nilai yang mendukung dominasi politik rezim.
Dalam teori Habermas, perlawanan terhadap dominasi wacana adalah bagian penting dari proses evolusi sosial. Di masa jelang reformasi, muncul berbagai perlawanan terhadap narasi resmi rezim Orde Baru. Perlawanan secara diam-diam maupun secara terbuka yang dibalut berbagai ragam kesenian.
Kaum intelektual, aktivis, dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan menciptakan wacana tandingan yang menantang dominasi pemerintah. Melalui karya sastra, pamflet bawah tanah, dan diskusi informal, mereka berusaha mengungkap ketidakadilan dan memberikan perspektif alternatif terhadap realitas sosial.
PIDATO PRESIDEN SOEHARTO
Dengan menggunakan pendekatan Habermas, kita dapat menganalisis pidato-pidato Soeharto sebagai contoh dari tindakan komunikatif yang terdistorsi. Alih-alih berusaha mencapai konsensus melalui dialog yang rasional, pidato-pidato itu dirancang untuk memanipulasi opini publik dan memperkuat kekuasaan Soeharto.
Dengan menggunakan bahasa yang penuh simbolisme dan retorika, Soeharto berhasil menciptakan citra dirinya sebagai pemimpin yang tidak tergantikan sekaligus menekan suara-suara oposisi yang dianggap mengancam stabilitas nasional.
MEDIA DAN OPINI PUBLIK
Penulis menganggap media sebagai ruang publik di mana diskursus yang rasional seharusnya berlangsung. Namun, di bawah rezim Orde Baru, media digunakan untuk memonopoli narasi publik dan mengontrol opini masyarakat. Berita dan program televisi disusun untuk mempromosikan pandangan pemerintah dan menghindari kritik.
Dalam konteks ini, media tidak lagi berfungsi sebagai wahana untuk pertukaran ide dan kritik konstruktif, tetapi sebagai alat untuk mempertahankan status quo dan menghambat perubahan sosial.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT KONTROL
Penulis percaya bahwa setiap masyarakat Indonesia yang terbuka pemikirannya mengerti betapa pentingnya pendidikan di dalam mendukung kapasitas rasional dan kritis individu.