Surabaya Nir-hub

Selasa 13-08-2024,11:30 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Di tengah, Surabaya, Makassar, dan Balikpapan tampak sengit persaingannya. Tak lama lagi pasti akan menyusul kota-kota pertumbuhan baru seperti Kendari dan sejumlah kota baru seperti Ibu Kota Nusantara di Penajam.

Dua puluh tahun lalu Surabaya masih bisa jemawa sebagai hub Indonesia Barat dan Timur. Sebab, secara geografis dan infrastruktur, kondisinya sangat memungkinkan. Namun, ketika infrastruktur Makassar berkembang, kemajuan pesat menjadi sangat terasa.

Memang, jika ditilik dari produk domestik regional bruto (PDRB), Kota Makassar masih seperempat dari PDRB Kota Surabaya. Menurut data BPS, PDRB Kota Makassar 2023 mencapai Rp 140.197.903,47 juta. Sedangkan Surabaya di tahun yang sama mencapai Rp 459.028.743,51 juta.  

Yang menarik adalah membandingkan konstribusi pemerintah kota masing-masing. Berdasar PDRB yang dihitung dari belanja itu, Pemkot Makassar memberikan kontribusi lebih besar bila dibandingkan dengan Surabaya. Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu menyumbang 7,78 persen. Sedangkan Surabaya hanya 3,8 persen.

Itu membuktikan kekuatan sektor swasta dana masyarakat jauh lebih besar dalam menggerakkan ekonomi di Surabaya. Karena itu, ketika menjadi sesuatu di Pemkot Surabaya, saya pernah berkelakar bahwa pemerintah tidur saja, ekonomi Surabaya akan tumbuh dengan baik.

Toh demikian, pemerintah Surabaya tidak boleh terlena. Peran sebagai hub untuk transportasi udara bolehlah diambil alih Ujung Pandang. Namun, sebagai hub distribusi logistik dan ekonomi harus tetap dengan kerja keras dipertahankan untuk menjadi milik Surabaya. Menjadi hub kota perdagangan antara Indonesia Barat dan Timur.

Memperkuat posisi Surabaya sebagai kota perdagangan dan jasa menjadi suatu keniscayaan. Kegagalan untuk meningkatkan keunggulan sektor itu memungkinkan bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi kota dan membuka peluang kota lain untuk menyalipnya. Manambah kontribusi belanja pemerintah menjadi hal yang perlu diupayakan.

Dulu, dalam waktu yang lama, kita bisa membanggakan diri sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta. Namun, kalau dihitung dari PDRB per kapita, Kota Pahlawan ini tidak masuk 12 kota terkaya di Indonesia. Disebut PDRB per kapita yang kaya apabila mencapai di atas Rp 300 juta per bulan.

Lantas, kota dan kabupaten mana yang dianggap terkaya sekarang? Menurut data BPS per akhir 2023, secara berurutan mereka adalah Morowali, Jakarta Pusat, Mimika, Kediri, Halmahera Tengah, Teluk Bintani, Anambas, Kutai Timur, Bontang, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Tana Tidung.

Kecuali Jakarta dan Kediri, kekayaan per kapita itu disumbang penghasilan kekayaan alam, terutama minerba. Misalnya, Morowali dan Mimika, mereka memiliki per kapita yang tinggi karena berkembang menjadi penghasil tambang nikel dan emas-tembaga. 

Ketika pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbangkan sektor swasta, memperbaiki layanan administrasi menjadi kunci. Menyiapkan kota yang nyaman, infrastruktur publik yang terus berkembang, dan mengenjot pariwisata adalah salah satu cara untuk menjaga keunggulan kota seperti Surabaya.

Apakah Pemkot Surabaya sekarang sudah berada dalam jalan yang benar? Kita melihat inovasi untuk meningkatkan keunggulan di bidang jasa dan perdagangan telah terus dilakukan. Yang penting, tak terlena dengan yang telah ada. 

Jangan sampai peran Surabaya sebagai hub direbut kota lainnya! (*)

 

Kategori :