The Banning of UNRWA: Sebuah Sikap Egosentris
Pada 28 Oktober 2024, parlemen Israel (Knesset) mengesahkan sebuah undang-undang yang secara substansi melarang operasional UNRWA secara penuh di daerah wilayah Israel. Pelarangan ini didasarkan pada tuduhan Israel yang menyatakan bahwa UNRWA terafiliasi dengan Hamas termasuk pada serangan pertama pada 7 Oktober 2023 yang disinyalir terdapat campur tangan kolusi oleh beberapa staf UNRWA.
Menurut Israel, UNRWA adalah sebuah organisasi yang beranggotakan teroris sehingga Israel merasa perlu melarang penuh kontak antara para staf atau anggota UNRWA dengan pejabat Israel.
Pelarangan ini akan sangat berdampak dalam praktik penanganan pengungsi Palestina oleh UNRWA. Khususnya bagi mereka yang berada di kamp pengungsian di wilayah kekuasaan Israel seperti West Bank termasuk Gaza.
Jika Israel tidak ingin bekerja sama dengan UNRWA, ini berarti akan terjadi guncangan dalam distribusi bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Palestina. Meskipun di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan akan tetap memprioritaskan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi dengan akan menjalin kerjasama dengan partner internasional Israel.
Namun berkaca pada apa yang telah dilakukan oleh Israel, khususnya pada saat memanasnya konflik dan terjadi pembatasan sangat ketat bagi logistik bantuan kemanusiaan untuk dapat memasuki Gaza, tentunya masyarakat internasional pesimistis dengan pernyataan Netanyahu tersebut.
Terlepas dengan semua tuduhan terhadap UNRWA, persoalan mengenai kemanusiaan dan pengungsi yang timbul akibat konflik Israel-Palestina ini yang harus menjadi prioritas semua pihak termasuk pihak yang berkonflik. Puluhan negara telah memberikan kecamannya terhadap sikap Israel yang melarang UNRWA untuk dapat beroperasi dan menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai “another” international law violation.
Entah berapa pelanggaran hukum internasional yang telah dilakukan oleh Israel, namun tindakan Israel kali ini juga semakin menunjukkan betapa ia merupakan sebuah negara dengan egosentrisme yang sangat tinggi.
Menjadi hal yang patut dipertanyakan, Israel adalah negara anggota PBB tapi menentang dan melarang specialized agency dari PBB untuk bekerja dalam merestorasi hak-hak para pengungsi Palestina yang telah dirampas akibat konflik ini.
Israel nampaknya lupa bahwa terdapat hal-hal yang telah menjadi jus cogens seperti persoalan hak asasi manusia yang di dalamnya termasuk kemanusiaan dan pengungsi. Tindakan Israel ini menjadi bukti bahwa Israel tidak memberikan penghormatan terhadap jus cogens tersebut bahkan seakan hukum internasional menjadi sesuatu yang dapat dipermainkan oleh subjeknya.
Berkaca kepada perjalanan panjang konflik ini, bahkan opini/fatwa ICJ pun diabaikan Israel. Kembali lagi kepada para pemangku kekuasaan khususnya di PBB, negara-negara besar yang mempunyai influence langsung terhadap Israel, diperlukan solidaritas dan konsistensi dalam mendesak agar konflik yang telah mengorbankan banyak hal termasuk nyawa-nyawa orang tak bersalah ini agar dapat berakhir dan perdamaian dapat kembali dirasakan oleh masyarakat di wilayah Israel dan Palestina.
Upaya-upaya perlu terus dilakukan baik itu dalam bentuk diplomasi hingga pemberian sanksi terhadap Israel guna menyudahi konflik ini dan bersatu padu mengarah menuju perdamaian demi kehidupan masyarakat internasional yang sejahtera secara kolektif. (*)
*) Dosen Laboratorium Hukum Internasional FH UBAYA