Mengembalikan hak pemilihan ke DPR adalah pemberangusan demokrasi dan mengembalikan Indonesia kepada masa jahiliah politik. Prabowo tidak akan sulit mewujudkan keinginannya. Mengubah undang-undang di DPR soal kecil. Sebab, KIM Plus menguasai parlamen.
Praktis hanya PDIP yang menjadi oposisi. Partai Nasdem belum menunjukkan tanda-tanda akan menjadi oposisi. Sejauh ini enggan masuk ke kabinet, tapi menjadi oposisi pun tak mau. Kelihatannya Nasdem ingin menjaga jarak aman. Mungkin saja cari-cari kesempatan untuk menyalip kalau memungkinkan.
Kalau undang-undang sudah diketok, KIM Plus akan dengan mudah menempatkan orang-orangnya di setiap pilkada daerah. Koalisi KIM Plus sangat mungkin akan menyapu bersih semua pemilihan di seluruh Indonesia.
Kalau sudah demikian, demokrasi akan mati. Ziblatt dan Levitsky dalam buku How Democracies Die (2018) sudah mengingatkan akan datangnya kematian demokrasi.
Kematian muncul bukan dari kudeta militer atau serangan dari kekuatan asing. Melainkan, dari pemimpin populis yang dipilih secara demokratis.
Dengan populisme itu, sang pemimpin memanipulasi rakyat. Kemudian, dengan populisme itu, ia mengubah undang-undang untuk melanggengkan kekuasaannya. Bukan cuma dua periode. Bila perlu seumur hidup. Xi Jinping di Tiongkok dan Vladimir Putin di Rusia contohnya.
Akankah Prabowo mengarah ke sana? Tidak ada yang tahu. Indikasi awal sudah kelihatan bahwa ia tidak ingin ada oposisi. Ia ingin demokrasi santun. Hal tersebut tentu tidak lazim. Mana ada demokrasi tanpa oposisi. Mana ada demokrasi santun.
Alih-alih demokrasi santun, yang terjadi adalah demokrasi santunan. Bagi-bagi bansos untuk melanggengkan kekuasaan. (*)