Sementara di dasar jurang, ada dunia yang diciptakan, menghadirkan yang mati (orang hampa) tapi memiliki tujuan hidup, sementara tokoh yang sedang mereka lakoni adalah menjadi orang hidup yang tidak memiliki tujuan.
Konsep oposisi biner ini juga terasa dalam penyajian visual. Sinematografi film memanfaatkan kontras yang kuat: jurang yang gelap dan penuh ancaman dihadapkan pada kehangatan interaksi Drasa dan Levi, dunia luar yang brutal berlawanan dengan momen-momen intim di antara mereka.
BACA JUGA:Pistol yang Membunuh Sinematogfarer Film Alec Baldwin Sudah Pernah Salah Tembak
Musik latarnya pun mencerminkan hal ini, kompisisi ketegangan aksi berdampingan dengan melodi yang lebih lembut saat hubungan mereka semakin dalam. Lebih dari sekadar kisah cinta dalam situasi ekstrem, The Gorge mempertanyakan apakah hubungan ini terjadi karena takdir atau karena keputusan sadar dari kedua karakter.
Apakah Drasa dan Levi hanya mengikuti alur yang sudah digariskan, ataukah mereka benar-benar memiliki kendali atas pilihan mereka? Derrickson berhasil membuktikan bahwa romansa dan aksi bisa berjalan beriringan tanpa kehilangan esensi masing-masing.
Bagi yang mencari film dengan dinamika yang lebih dari sekadar kisah cinta atau aksi biasa, The Gorge adalah pilihan yang tepat. Ini adalah kisah cinta yang menemukan keindahannya di tengah pertentangan dan kekacauan. (*)
Jiphie Gilia*
*) Dosen, penyuka kopi, musik, dan film