Cheng Yu Pilihan Ndindy Indiyati Seniman Teater, Anggota Bengkel Muda Surabaya: Zi Li Geng Sheng

Sabtu 01-03-2025,04:00 WIB
Reporter : Novi Basuki & Annie Wong
Editor : Heti Palestina Yunani

Cinta. Kasih sayang. Bahagia. Tiga hal itu menjadi ”kemewahan” yang teratas di mata Ndindy Indiyati dalam hidupnya. Buat seniman teater Surabaya itu, ketiganya makin dia didapatkan justru dari seni. Terutama seni teater. Dunia yang digandrungi Ndindy sejak belia. Saat SD, menyanyi dan membaca puisi memang kesukaan Ndindy. Lantas menginjak SMP, dia mulai mengenal teater. 

Ditambah lagi, bersama dua kakaknya, Ndindy tumbuh dalam keluarga yang sangat mencintai seni. “Kita keluarga yang demen sama musik. Mbakku punya grop band. Masku pianis tapi lebih suka main gitar dengan bandn-nya di Fakultas Kedokteran Unair,” kata Ndindy.

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Dwi Rachmawati Proboningrum, Influencer: Jin Xin Jie Li

Kesenangan pada teater itu makin terasah ketika aktif di Bengkel Muda Surabaya (BMS) saat usianya 19 tahun. Anda sudah tahu, itu komunitas seni di Surabaya yang menjadi kawah candradimuka beberapa seniman besar di Surabaya seperti Gombloh dan Franky Sahilatua. Di situlah Ndindy menempa diri. 

Pertemuan Ndindy dengan BMS terjadi tak sengaja. Basuki Rachmat, seniman teater di BMS yang juga wartawan, melihat Ndindy terpincut ikut latihan. Sebagai remaja, keingintahuan Ndindy makin besar. “Tahu-tahu Pak Bas memanggil saya yang sedang mengintip latihan dari pintu. Saya diminta masuk dan membaca naskah. Berikutnya saya datang lagi, ikut latihan, dan dipercaya mendapatkan peran. Waaaah kenangan yang indah banget waktu itu,” ujarnya.

Menjadi bagian BMS, Ndindy makin belajar tentang cinta, kasih sayang, dan bahagia. Sesuatu yang menguatkannya selama ini. Di BMS, Ndindy rajin mepet dengan para senior yang menjadi inspiratornya seperti Sirikit Syah, Pocek, dan Bawong SN. ”Berkesenian itu membuat kita makin paham dengan kehidupan. Saya pun menjadi mandiri karena itu pula yang saya dapatkan selama berkesenian,” terang perempuan kelahiran Banyuwangi, 25 Juni 1959 itu.

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Devi Indriawan Vokalis Band Klantink: Cheng Ren Bu Zi Zai, Zi Zai Bu Cheng Ren

Selain dengan berkesenian, Ndindy tak bisa melupakan jasa ibundanya, Soeyati Tjokrowisastro, dalam membentuk karakternya yang sekarang. Perempuan yang meninggal muda dalam usia 52 tahun pada 1978 itu dikenal Ndindy sangat keras dalam mendidik. ”Dialah patron saya dalam bertahan dari apa pun. Termasuk setia berkesenian dengan segala naik turunnya. Gombloh yang mengenal ibu saya tahu banget betapa disiplinnya beliau. Tapi semua itu demi kebaikan,” kenang putri bungsu Soepadi, seorang pegawai di pemerintahan kabupaten Banyuwangi.

Tentang ibunya itu, Ndindy mengagungkan satu pesan beliau yang membuatnya tegar menghadapi banyak hal yang mungkin tak menguntungkan. Kata-katanya sangat sederhana. Tak menunjuk langsung pada maksud yang pasti. Tapi Ndindy bisa menyimpulkan saripatinya. Sebagai orang Yogyakarta, ibunya yang berparas Jawa tulen itu mengatakan begini: “Mengko yen ono opo-opo ora usah nunggu ibu yo. Misale wae celonomu bedah dijahit dhewe”. 

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan dr Bona Fernando Direktur Rumah Sakit Mayapada Surabaya: Tian Sheng Wo Cai Bi You Yong

Maksudnya, jika nanti terjadi apa-apa Ndindy harus menyelesaikannya sendiri. Pepatah Tiongkok menyebutnya ”自力更生” (zì lì gēng shēng): bersandar kepada kekuatan diri sendiri untuk mengubah nasib. Setelah berkata demikian, dua jam kemudian ibunda Ndindy sedo (meninggal, Red). ”Pesan ibu itu betul. Ada hal kecil misalnya celana saya sobek saya harus menjahitnya sendir. Tapi lebih daripada itu sebenarnya itu pertanda bahwa saya harus bisa berdiri di atas kaki saya sendiri. Ternyata apa yang disampaikan ibu berguna buat saya untuk makin tahu bagaimana cara menjaga cinta, memelihara kasih sayang, dan mencapai bahagia,” tandas perempuan berjilbab itu. (Heti Palestina Yunani)

Kategori :