Pertamax Oplosan: Defisit Kredibilitas dan Mengerasnya Batas Antagonistik

Selasa 04-03-2025,15:54 WIB
Oleh: Finsensius Yuli Purnama*

Dalam teori itu, setiap peristiwa politik memunculkan dua pihak yang memiliki kepentingan dan pandangan yang saling bertentangan. Di satu sisi, pemerintah berusaha mempertahankan legitimasi dan kewibawaannya sebagai pengelola negara. 

Di sisi lain, masyarakat merasa diabaikan dan tidak dihargai dalam kebijakan yang diambil.

Antagonisme itu memperlihatkan betapa besarnya jarak yang tercipta antara negara dan rakyat. Pemerintah, yang seharusnya hadir untuk melindungi kepentingan rakyat, kini justru dicurigai memiliki agenda yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. 

Sementara itu, masyarakat yang merasa dirugikan tidak hanya mengkritik kebijakan tersebut, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban atas kerugian yang mereka alami. Setiap pihak saling berusaha untuk mempertahankan posisinya, yang akhirnya memperburuk ketegangan antara pemerintah dan rakyat. 

Dalam perdebatan itu, masing-masing berusaha memperjuangkan legitimasi dan posisinya. Pemerintah merasa telah melakukan yang terbaik dalam mengelola sumber daya energi, sedangkan masyarakat merasa terabaikan dan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Sebagaimana dijelaskan Laclau dan Mouffe, perbedaan pandangan itu tidak hanya terjadi di tingkat diskursif, tetapi juga menciptakan jarak antara keduanya, yang makin menambah ketegangan. Antagonisme itu memunculkan perasaan ”kami” versus ”mereka”. 

Masyarakat merasa menjadi subjek yang diabaikan pemerintah. Pemerintah, di sisi lain, berada dalam posisi yang harus membela diri dengan menunjukkan bahwa mereka tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat. 

Sikap-sikap pembangkangan dalam bentuk beralih menggunakan penyedia bahan bakar swasta menunjukkan kecenderungan yang sangat memprihatinkan. 

Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi situasi ini? Sebagai individu yang berada di tengah arus sosial dan politik ini, kita dituntut untuk lebih kritis dalam menanggapi setiap kebijakan dan isu yang berkembang. 

Sebagai bagian dari masyarakat, kita harus lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan memastikan bahwa suara kita didengar. Pendidikan politik yang baik dan penyebaran informasi yang akurat menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sadar dan kritis.

Di sisi lain, penting untuk diingat bahwa komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk menghindari mispersepsi dan mempersempit jarak antagonistik yang ada. 

Pada akhirnya, kasus Pertamax oplosan menjadi cermin bagi kita semua mengenai pentingnya menjaga kredibilitas dan transparansi dalam setiap kebijakan publik. 

Konflik itu tidak hanya soal masalah Pertamina atau pengelolaan sumber daya energi, tetapi juga tentang bagaimana negara dan masyarakat berinteraksi dalam sebuah sistem demokrasi yang sehat. 

Kasus Pertamax oplosan itu lebih dari sekadar masalah distribusi bahan bakar yang tidak sesuai. Itu adalah refleksi dari masalah yang lebih dalam, yaitu krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan media. 

Antagonisme yang tercipta antara pemerintah dan masyarakat menggambarkan ketegangan yang makin besar antara negara dan rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan komunikasi yang lebih transparan, tindakan tegas terhadap oknum yang terlibat, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. 

Dengan langkah-langkah tersebut, kita dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih adil dan dapat dipercaya serta menghindari kejadian serupa di masa depan. (*)

Kategori :