Dari zaman dulu, tujuannya juga sama: menyejahterakan masyarakat desa. Namun, tak pernah mampu membendung rentenir.
BACA JUGA:Sempat Menurun Pasca Peluncuran Danantara, IHSG Kembali Menguat ke Angka 6.600 an
BACA JUGA:Prabowo Tak Mau Danantara Diisi Orang-orang Titipan
Sistem ijon, tengkulak memodali petani dengan kompensasi hasil panen dibeli murah terjadi di mana-mana. Itulah salah satu yang mengakibatkan harga anjlok. Petani tak punya daya tawar. Masalah itu terjadi karena KUD tak punya kemampuan mendanai petani.
Bahkan, di salah satu kabupaten di NTB, pengurus KUD larut dalam konflik. Rebutan aset dan keabsahan pengurus. Konflik bertahun-tahun itu pun masih berlangsung.
Di era SBY juga muncul proyek BUMDes (badan usaha milik desa). Bergerak berbagai usaha. Mulai pariwisata, ritel hingga pertanian. Ada satu dua yang sukses. Tapi, sebuah penelitian menunjukkan, BUMDes hanya berkontribusi 2 hingga 4 persen PADes (pendapatan asli desa). Jauh jika disebut sebagai mesin penggerak ekonomi.
BACA JUGA:LPS Jamin Danantara Tak Akan Ambil Saldo Nasabah BRI, BNI, hingga Mandiri
BACA JUGA:Seluruh BUMN Akan Masuk ke Danantara Akhir Maret 2025
Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan, dimulai dari mana kopdes agar tak mengulang sejarah. Kalau tidak dimulai dengan penyiapan sistem dan SDM, tentu proyek itu sulit diharapkan.
Kuncinya, tentu SDM pengelola. Sistem rekrutmen dan pelatihan SDM. Pengelola secara tradisional yang didominasi perangkat desa atau tokoh lokal berpengaruh tentu akan mengulang kegagalan.
Sebenarnya, pemerintah bisa belajar dari cara perusahaan ritel minimarket seperti Indomaret dan Alfamart dalam melakukan penetrasi ke desa. Yang dicontoh adalah membangun sistem operasional dan SDM-nya. Artinya, ada standardisasi pengelola dan karyawan. Ada pelatihan. Ada sistem kontrol.
Kopdes tetap milik masyarakat desa, tetapi pengelola profesional. Kementerian Koperasi harus membuat sistem rotasi pengelola. Itu cara terbaik untuk mengontrol pengelolaan.
Danantara yang para pengelolanya memiliki reputasi tinggi dan pendidikan kelas dunia saja, tetap banyak yang meragukan. Apalagi, kopdes yang digulirkan bila tanpa persiapan SDM yang matang.
Tak dapat dibayangkan bila Rp 350 triliun dikelola dengan cara lama. Apalagi, dana Rp 350 triliun itu pinjaman dari bank pelat merah BRI, BNI, dan Mandiri. Mungkin banyak yang akan terjerat hukum, tetapi dana yang dikucurkan menguap.
Bila proyek kopdes itu tak sesuai harapan, Danantara pun ikut kena getah. Sebab, modal Rp 350 triliun berasal dari bank pelat merah yang kini menjadi milik Danantara.
Lain halnya bila proyek kopdes, misalnya, terselubung misi politik. Sebagai alat membuai sekaligus menjerat masyarakat untuk kepentingan politik lima tahun. Intinya, menjadi umpan politik.