Militerisme Hibrida Menghadapi Supremasi Sipil

Kamis 27-03-2025,15:53 WIB
Oleh: A. Kodir A.* & Probo D.Y.**

EFISIENSI ATAU DISTORSI MERITOKRASI?

Salah satu justifikasi utama penempatan perwira di sektor sipil adalah disiplin dan efektivitas kerja. Militer dianggap lebih mampu menangani birokrasi daripada aparatur sipil yang kerap dikritik lamban dan korup. 

Namun, jika tujuan utama adalah memperbaiki kinerja birokrasi, mengapa bukan sistem rekrutmen dan meritokrasi yang diperbaiki? Menggantikan pejabat sipil dengan perwira militer justru memperkuat ketergantungan terhadap struktur komando, yang berbeda dengan pola kerja sipil yang menekankan kolaborasi dan konsultasi.

Dalam revisi UU TNI yang tengah dibahas, keterlibatan perwira aktif makin diperluas ke lima institusi baru, dengan dalih untuk memperbaiki kinerja birokrasi. Walaupun tampak administratif, revisi itu membuka jalan bagi institusionalisasi kembali peran militer dalam sipil, mirip dengan dwifungsi ABRI di masa lalu, hanya dalam bentuk yang lebih lunak. 

Di era reformasi, Indonesia berkomitmen untuk menegakkan batas tegas antara sipil dan militer. Namun, jika keterlibatan itu terus berkembang, bukan tidak mungkin dalam jangka panjang militer kembali menjadi kekuatan dominan dalam pemerintahan, bahkan tanpa perubahan doktrin formal.

MILITER DAN SENTIMEN PUBLIK

Salah satu faktor utama yang mempercepat normalisasi keterlibatan militer dalam pemerintahan adalah tingginya kepercayaan masyarakat terhadap TNI. Survei menunjukkan bahwa militer adalah institusi paling dipercaya di Indonesia, jauh melampaui partai politik dan lembaga legislatif. 

Kepercayaan itu melahirkan ”fanatisme baru”, yaitu keterlibatan militer tidak lagi dipandang sebagai ancaman otoritarianisme, tetapi sebagai solusi atas inefisiensi sipil. 

Jika pada masa Orde Baru dominasi militer dalam politik mendapat perlawanan keras, kini justru banyak yang menganggapnya sebagai manifestasi profesionalisme dan disiplin kerja yang lebih unggul jika dibandingkan dengan birokrat sipil.

Tren itu makin terlihat dalam berbagai kebijakan. Misalnya, program makan gratis yang distribusinya melibatkan TNI serta rencana pembentukan 100 batalion pertanian dan perikanan. 

Tidak ada perubahan konstitusi atau doktrin formal, tetapi secara bertahap militer kembali masuk ke ranah sipil dengan justifikasi teknokratik. Namun, sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam sipil, jika tidak diawasi, dapat membawa konsekuensi politik yang luas. 

Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap militer bukan alasan untuk mengabaikan supremasi sipil. Justru, itu menjadi momentum untuk memperkuat profesionalisme birokrasi sipil agar kehadiran militer tidak lagi dianggap sebagai solusi utama.

MASA DEPAN SUPREMASI SIPIL

Indonesia berada di persimpangan jalan. Model militerisme hibrida yang diterapkan saat ini memang belum sepenuhnya mengembalikan dwifungsi ABRI. Namun, tanpa pengawasan, batas sipil-militer makin kabur sehingga membuka peluang keterlibatan yang lebih luas. 

Masyarakat sipil, akademisi, dan media memiliki peran penting dalam mengawasi tren itu dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap menjadi pijakan utama tata kelola pemerintahan. 

Reformasi 1998 menegaskan bahwa kepemimpinan negara berada di tangan warga sipil yang dipilih secara demokratis, bukan melalui jalur militer. Bila prinsip itu terus dilemahkan atas nama efisiensi dan pragmatisme administrasi, Indonesia berisiko mengulang pola pemerintahan masa lalu meski dalam bentuk yang lebih halus.

Kategori :