Bersama manajer Kalyan Sanaboyina.--
Di dunia fintech, menjadi engineer tak cukup hanya menulis kode; kita juga harus memahami dampak setiap baris kode terhadap produk, pengalaman pengguna, dan strategi perusahaan secara menyeluruh.
Manajer saya adalah salah satu yang terbaik yang pernah saya temui: memberi kepercayaan penuh tanpa micromanaging, serta menghargai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Saya merasa sangat beruntung berada di tim yang nilai-nilainya sejalan dengan nilai pribadi saya.
Kami bekerja dalam budaya kolaboratif: pair programming, system review, dan eksperimen fitur. Tidak ada budaya saling sikut—kami membangun ruang tumbuh bersama.
Dari kolaborasi itu, saya belajar bahwa kualitas kerja tidak hanya ditentukan oleh baris kode, tapi juga oleh cara kita hadir dan berkontribusi sebagai rekan kerja.
Saya membawa nilai-nilai dari budaya Indonesia: tata santun, kebiasaan mengucap terima kasih, dan maaf, serta menghargai ritme dan perasaan tim.
Dalam dua tahun ini, saya melewati dua gelombang PHK dan berkali-kali evaluasi performa. Bukan sekadar bertahan—saya tumbuh dan membangun kepercayaan profesional.
Imposter syndrome pernah datang, tapi saya tahu: kepercayaan tumbuh bukan dari kesempurnaan, melainkan dari kontribusi yang konsisten. Engineer terbaik bukan yang paling tahu segalanya, tapi yang paling bisa diandalkan.
Kini, teknologi bukan sekadar alat. Ia telah menjadi ruang kerja, bahasa kedua, dan sarana untuk menciptakan perubahan nyata—bukan hanya dalam sistem, tapi juga dalam hidup saya sendiri.
Oktober lalu, kantor mulai memberlakukan kebijakan hybrid. Setelah bertahun-tahun bekerja jarak jauh, akhirnya saya bisa bertatap muka langsung dengan tim—mengisi whiteboard bersama, berdiskusi tanpa perlu menjadwalkan Zoom atau Slack Huddle. Rasanya seperti babak baru yang lebih nyata.
Tak lama sebelum itu, saya mencapai salah satu tonggak paling bermakna dalam hidup saya: membeli rumah di San Francisco Bay Area.
Bagi saya, ini bukan sekadar pencapaian material, tapi buah dari perjalanan panjang—dari mengetik baris kode pertama, menavigasi dunia kerja yang tidak pasti, hingga akhirnya memiliki ruang yang bisa saya sebut ”pulang”.
Perjalanan ini tidak selalu lurus, dan tidak selalu mudah. Saya belum tahu tantangan apa yang akan datang. Tapi setiap langkah—dari sketsa mode hingga baris kode, dari keraguan hingga keberanian—telah membawa saya ke titik ini.
Satu hal yang saya pelajari: untuk maju, kita tidak perlu sempurna. Kita hanya perlu cukup berani untuk mulai, cukup gigih untuk bertahan, dan cukup terbuka untuk terus tumbuh—di mana pun kita berpijak.(Marisa Tania - habis)