Bahkan, secara cerdas, mereka harus mengoptimalkan hadirnya AI (kecerdasan buatan). Entah itu produk dari Amerika Serikat atau produk dari Tiongkok.
Parpol harus mengubah cara berpikir. Mereka harus inovatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan bagi parpol. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada ”pemberian” dari badan kesatuan bangsa dan politik (bakesbangpol) untuk tingkat daerah.
Prinsip utamanya, dana itu dapat dipertanggungjawabkan. Dana tersebut bisa berasal dari mana pun. Kalau perlu, dana itu harus bisa diaudit akuntan publik.
Loyalitas tidak bisa disamakan dengan lamanya mereka berkiprah di partai tersebut. Tidak bisa lagi menggunakan ukuran sekian tahun mengabdi baru dikatakan loyal. Harus diberi batasan berapa tahun mereka ”banting tulang” dalam organisasi tersebut.
Mereka harus menunjukkan ke semua kader partai tersebut bahwa mereka loyal dan komitmen terhadap parpol. Itu untuk mencegah ”pemain baru” yang tiba-tiba dijadikan kader partai demi untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin/wakil kepala daerah.
AGENDA KE DEPAN
Agenda yang bisa dipersiapkan oleh pemerintah, antara lain, adalah, pertama, Kemendagri harus mensyaratkan kepada parpol untuk mengagendakan mekanisme sistem kaderisasi yang terstruktur, sistematis, dan berulang tiap periodik.
Jangan sampai parpol hanya sibuk mengagendakan program kaderisasi menjelang ajang pemilihan anggota dewan atau kepala daerah.
Kedua, agar dana operasional partai (DOP) benar-benar menjadi motor reformasi politik, pemerintah Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain. Di Jerman, pendanaan publik bagi partai disalurkan dengan prinsip matching fund.
Artinya, negara hanya akan mencocokkan dana yang berhasil dikumpulkan partai dari publik dengan syarat adanya laporan penggunaan yang transparan dan diaudit secara berkala (Bundeszentrale für politische Bildung, 2023). Itu mendorong partai lebih aktif membangun kepercayaan publik dan tidak semata bergantung pada dana negara.
Swedia dan Finlandia menerapkan pola serupa. Dana publik yang diberikan untuk partai wajib dialokasikan untuk pendidikan politik, kaderisasi, dan pelibatan anggota secara terbuka. Tansparansi menjadi mutlak, bukan sekadar formalitas administratif (International IDEA, 2023).
Sebaliknya, pengalaman dari sejumlah negara Amerika Latin seperti Guatemala dan Honduras menunjukkan bahwa subsidi politik tanpa mekanisme pertanggungjawaban justru memperkuat patronase elite partai.
Dana negara rawan disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek, sedangkan kaderisasi dan pendidikan politik tetap lemah.
Belajar dari sini, Indonesia perlu memperkuat regulasi DOP dengan syarat pelaporan yang terperinci dan sanksi tegas bagi partai yang tidak transparan.
Sebagai langkah konkret, minimal 30 persen dari DOP sebaiknya diwajibkan untuk program kaderisasi berbasis media digital, pelatihan politik, serta penguatan struktur partai secara terbuka dan berkelanjutan.
Dengan begitu, DOP tidak berhenti sebagai bantuan administratif, tetapi menjadi instrumen strategis dalam membangun partai modern yang akuntabel. (*)