Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa

Selasa 12-08-2025,14:17 WIB
Oleh: Yudi Fathoni Wijaya*

DI sebuah ruang kelas tua di Yogyakarta, tahun 1946, sekelompok pemuda duduk bersila di lantai yang dingin. Mereka belajar membaca dengan cahaya pelita di tengah revolusi, di tengah perang. Guru mereka seorang pejuang yang baru pulang dari medan pertempuran, mengajar dengan senapan masih tersampir di bahu. 

”Kemerdekaan tanpa pendidikan,” katanya pelan tetapi tegas, ”sama dengan api tanpa kayu bakar. Cepat padam.”

Delapan puluh tahun kemudian, di sebuah co-working space di Jakarta Selatan, sekelompok anak muda mendiskusikan start-up mereka sambil mengetik kode di laptop. 

BACA JUGA:Pendidikan Vokasi Adalah Jalan Utama untuk Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul

Mereka lulusan universitas terbaik, fasih berbahasa Inggris, menguasai teknologi mutakhir. Namun, pertanyaannya tetap sama: sudahkah kita menemukan formula tepat untuk membangun manusia Indonesia?

TIGA BABAK PERJALANAN

Perjalanan pengembangan SDM Indonesia bisa dibaca seperti drama tiga babak. Babak pertama, era Soekarno-Hatta, adalah masa romantisme pendidikan. Kita percaya bahwa sekolah adalah jawaban dari segala persoalan. 

Maka, dibangunlah sekolah-sekolah, dari Sabang sampai Merauke. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan ”ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Filosofi itu hingga kini masih tertera di logo Kemendikbud meski praktiknya kerap terlupakan.

Namun, romantisme tersebut segera berbenturan dengan realitas. Dana terbatas, guru kurang, infrastruktur minim. Kita membangun sekolah, tapi lupa membangun ekosistemnya. Seperti menanam bibit di padang gersang –tumbuh sih tumbuh, tapi kerdil dan tidak berbuah lebat.

Babak kedua dimulai era Orde Baru dengan pendekatan teknokratis yang terstruktur. Inpres SD, wajib belajar, link and match. Angka melek huruf meroket, jumlah sarjana berlipat ganda. Namun, kita terjebak pada kuantitas. 

Ijazah dicetak banyak-banyak, tetapi kompetensi? Ah, itu soal lain. Kita menciptakan ”sarjana pengangguran” –ironi yang menyakitkan di negeri yang konon kaya sumber daya.

Era itu juga melahirkan dikotomi yang hingga kini masih membelah: pendidikan umum versus kejuruan, eksak versus sosial, Jakarta versus daerah. Kita membangun hierarki tanpa sadar: dokter dan insinyur dipuja, sedangkan petani dan perajin dipandang sebelah mata. Padahal, siapa yang memberi makan dokter itu kalau bukan petani?

Babak ketiga, era reformasi hingga kini, ditandai dengan kebingungan produktif. Kurikulum berganti seperti pergantian menteri, kebijakan berubah bagai musim. Dari KBK, KTSP, K-13, hingga Merdeka Belajar. Kita seperti pengemudi yang terus ganti GPS di tengah perjalanan –tahu mau ke mana, tapi bingung jalurnya.

Namun, di balik kebingungan itu, ada secercah harapan. Kesadaran bahwa pengembangan SDM bukan sekadar soal sekolah mulai tumbuh. Pelatihan vokasi digalakkan, start-up pendidikan bermunculan, pembelajaran daring menjadi lumrah. 

Pandemi Covid-19, dengan segala kepahitannya, memaksa kita berinovasi. Guru-guru yang tadinya gagap teknologi tiba-tiba jadi youtuber dadakan.

Kategori :