Ketimpangan itu menegaskan bahwa meski Filipina mengeklaim sebagai negara demokrasi elektoral paling stabil di Asia Tenggara, realitas sosial-ekonomi justru memperlihatkan oligarki yang mengakar.
Penelitian Thompson (2016) bahkan menyebut politik Filipina sebagai ”patrimonial oligarchic democracy” –di mana kekuasaan dipertahankan oleh segelintir keluarga politik kaya yang menguasai ekonomi dan pemerintahan.
Artinya, protes massa di jalanan bukanlah gejala anomali, melainkan ekspresi dari kekecewaan mendalam atas demokrasi yang gagal menghadirkan keadilan sosial.
DEMOKRASI EMANSIPATORIS: JALAN KELUAR KRISIS
Jika dicermati, benang merah dari berbagai demonstrasi itu adalah kesenjangan ekonomi yang kian tajam, terutama justru di negara-negara yang mengaku diri demokratis.
Negara yang memberikan ruang kebebasan sipil, tetapi struktur ekonomi tetap dikuasai kelas yang memiliki modal. Di tengah retorika pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan, realitas justru menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, sedangkan mayoritas merasakan tekanan biaya hidup, pengangguran, dan ketiadaan jaminan sosial.
Di dalam perspektif neo-Marxian, kontradiksi antara demokrasi dan kapitalisme itu bukanlah hal baru. Karl Marx sudah sejak abad ke-19 mengingatkan bahwa akumulasi kapital akan melahirkan krisis berulang dan memperlebar jurang kelas.
Demokrasi liberal dianggap sebagai bentuk ”kediktatoran borjuasi” yang terselubung. Rakyat memang diberi hak memilih, tetapi kebijakan negara tetap mengikuti kepentingan kelas dominan yang menguasai alat produksi.
Demokrasi yang hanya berputar pada logika pasar dan elite politik hanya akan memproduksi frustrasi sebagaimana tertuang dalam konsep precariat: kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, kontrak tidak tetap, tanpa jaminan sosial, dan rentan eksploitasi.
Itulah lapisan masyarakat yang kini menjadi basis utama demonstrasi di berbagai negara.
Sementara itu, demokrasi di satu sisi memberikan ruang terhadap perjuangan kelas pekerja dan gerakan sosial untuk menekan redistribusi, mendorong reformasi sistem pajak progresif, jaminan sosial, dan pendidikan publik seperti di beberapa negara Skandinavia.
Itulah peluang mekanisme kontrol untuk melawan dominasi, bahwa rakyat menuntut perubahan meski kerap dengan risiko represi dan kooptasi.
Maka, gerakan itu berkelindan dengan upaya membawa demokrasi dari sekadar prosedur elektoral menjadi proyek demokrasi emansipatoris –sebuah model politik yang tidak berhenti pada pemilu lima tahunan, tetapi hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat melalui dua fondasi utama.
Pertama adalah politik redistribusi yang tidak semata-mata berbicara tentang teknis menaikkan pajak atau memperluas bantuan sosial, melainkan tentang perombakan fundamental dalam hubungan produksi dan distribusi kekayaan.
Hal itu mendobrak kerja-kerja kapitalisme yang sejauh ini menjadi paradigma ekonomi politik, meski tidak secara eksplisit, tetapi sebagai mode of domination yang secara struktural menempatkan surplus ekonomi di tangan segelintir kelas pemilik modal.
Misalnya, program conditional cash transfer yang populer di banyak negara berkembang sering dianggap solusi kemiskinan. Padahal, sebagaimana dikritik oleh Standing (2011), bantuan semacam itu justru mereproduksi ketergantungan dan tidak menyentuh akar ketimpangan.