BACA JUGA:Luhut: Bayar Hutang Whoosh dan LRT Tidak Pakai APBN, Hanya Restructuring
“Jadi, tolong bersabar. Ini opsi saja kita sedang kaji semua,” tegasnya. “Dan bukan hanya semata-mata dari finansial, ini supaya ke depannya bisa berjalan dengan baik.”
Menurut Rosan, langkah restrukturisasi diharapkan juga membawa dampak positif bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ia menilai, keberhasilan skema pembayaran utang akan memengaruhi stabilitas layanan kereta nasional.
BACA JUGA:Purabaya Emoh Bayar Utang Whoosh Pakai Duit APBN, Danantara Diminta Kelola Sendiri
“Dampaknya ke KAI juga positif,” lanjutnya. “Karena ini kan kalau nanti dampaknya ke KAI, bisa berpengaruh ke pelayanan KA lainnya.”
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa China telah menyetujui langkah restrukturisasi utang proyek Whoosh. Ia menyebut, Beijing bahkan membuka peluang kerja sama lanjutan hingga jalur Surabaya.
BACA JUGA:Dugaan Mark-Up Dana Proyek Kereta Cepat Whoosh, Mahfud Md: Biaya Naik Tiga Kali Lipat!
“China itu hanya bilang, kita akan mau terus sampai ke Surabaya kalau kalian menyelesaikan masalah restructuring ini segera,” kata Luhut. “Saya bilang waktu ke China tiga bulan lalu, tinggal tunggu Keppres supaya timnya bisa bekerja.”
Proyek Whoosh menjadi simbol penting hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok. Sejak diresmikan pada 2023, proyek ini tidak hanya mencerminkan kemajuan transportasi nasional, tetapi juga menjadi bagian dari agenda geopolitik Beijing di Asia Tenggara.
BACA JUGA:Purbaya Tolak Bayar Utang Whoosh Pakai APBN, Begini Respons Istana
Pembahasan utang Whoosh kini memasuki tahap strategis yang melibatkan koordinasi lintas kementerian. Pemerintah Indonesia berupaya memastikan restrukturisasi berjalan tanpa mengorbankan kepentingan nasional sekaligus menjaga kepercayaan mitra luar negeri.
Bagi Indonesia, proyek ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga ujian dalam menjaga keseimbangan diplomasi. Keberhasilan menyelesaikan skema pembayaran akan menunjukkan kemampuan Indonesia mengelola kerja sama global tanpa kehilangan kedaulatan ekonomi. (*)
*) Mahasiswa magang Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya