Menurutnya, remaja semakin rentan terhadap paparan ideologi kekerasan di dunia maya yang kemudian mendorong mereka melakukan tindakan ekstrem tanpa afiliasi langsung dengan kelompok teroris mana pun.
Terinspirasi dari Aksi Kekerasan di Luar Negeri
Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pelaku telah lama menaruh minat terhadap aksi kekerasan dan penembakan massal yang terjadi di luar negeri.
Sejak awal tahun, pelaku diketahui sering mengakses berbagai situs yang membahas peristiwa-peristiwa serupa.
“Yang bersangkutan mulai mencari informasi tentang aksi kekerasan karena merasa tertindas, kesepian, dan memiliki dendam atas perlakuan yang diterimanya,” terang Mayndra melanjutkan.
BACA JUGA:Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta, Benarkah Korban Bully Lebih Rentan Meniru Konten Ekstrem?
BACA JUGA:Ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara: Pelaku Korban Bully
Kecenderungan itu kemudian membuatnya bergabung dalam komunitas media sosial yang berisi orang-orang dengan ketertarikan yang sama.
Dari sana, ia mengenal sejumlah pelaku serangan dari luar negeri yang kemudian menjadi panutannya.
Pada senjata mainan yang dibawanya saat kejadian, polisi menemukan coretan nama-nama seperti Eric Harris, Dylan Klebold, Dylann Storm Roof, Alexandre Bissonnette, Vladislav Roslyakov, dan Brenton Tarrant yang merupakan nama-nama pelaku penembakan massal di Amerika, Kanada, dan Rusia.
“Ia hanya mempelajari dan meniru tindakan ekstremisme yang dilakukan para pelaku itu. Beberapa simbol dan pose yang ditemukan hanya sebatas inspirasi,” jelas Mayndra.
Menurutnya, pola pikir pelaku tidak terikat pada satu ideologi tertentu, melainkan campuran dari berbagai paham maupun ideologi menyesatkan yang ia temukan di jejaring internet.
Mayndra menyimpulkan, tindak pidana ABH merupakan hasil inspirasi acak dari beberapa kasus kekerasan di dunia maya.
“Fenomena ini menjadi peringatan bagi kita semua tentang meningkatnya paparan konten kekerasan di dunia digital,” tegasnya. (*)
*) Mahasiswa magang Prodi Sastra Inggris dari Universitas Negeri Surabaya