Setelah keadaan mulai tenang, Anggie (Acha Septriasa) memutuskan pulang ke Indonesia untuk berbicara dengan keluarganya. Inilah puncak emosional film. Sang Ayah awalnya menolak bertemu, namun sang Ibu memeluknya sambil menangis.
Ayahnya bergeming. Ia berjalan menjauh.Tetapi di adegan terakhir, saat Anggie (Acha Septriasa) hendak kembali ke Australia, Ayahnya memanggil dengan mengatakan “Aku belum bisa menerimamu sepenuhnya… tapi aku tak ingin kehilanganmu.” Air mata Anggie kembali jatuh. Film ditutup dengan Anggie (Acha Septriasa) duduk di tepi pantai, mengenakan mukena putih, tersenyum sambil menatap sunrise.
BACA JUGA:Sinopsis Film Pengin Hijrah, Ketika Selebgram Ingin Pindah ke Jalan Allah
BACA JUGA:Sinopsis Film Jangan Panggil Mama Kafir, Dilema Bunda Beda Agama
Film tersebut menyoroti bagaimana seseorang menemukan makna hidup dari titik terendah. Perjalanan Anggie (Acha Septriasa) menggambarkan bahwa pencarian iman bukan hal instan, melainkan proses panjang yang dipenuhi luka, harapan, dan pengorbanan.
Kekerasan yang dialami Anggie (Acha Septriasa) bukan dijelaskan sebagai sensasi, tetapi pemicu kuat perubahan hidup. Film tersebut sangat manusiawi dalam menggambarkan konflik orang tua dan anak. Tidak ada yang diposisikan sebagai jahat,tetapi semuanya adalah manusia yang takut kehilangan.
Setiap adegan kunci memperlihatkan bahwa hidayah bisa datang ketika seseorang berada di titik rapuh. Lantunan ayat, kebaikan kecil, dan perjalanan batin menjadi representasi metaforis cahaya.
Air Mata Mualaf bukan sekadar drama religi, hal tersebut adalah sebuah film tentang luka, keberanian, dan penyembuhan. Dengan tema besar tentang pencarian jati diri, film ini dipastikan menjadi tontonan yang memicu air mata dan renungan mendalam.
Penonton yang menyukai drama bernuansa spiritual, keluarga, dan perjalanan emosional akan menemukan pengalaman menonton yang sangat memuaskan.
*Mahasiswa Magang MBKM Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya*