Bisnis rokok ilegal mengalirkan uang dalam jumlah fantastis. Margin keuntungannya tak masuk akal. Lebih dari 100 persen per transaksi. Terlalu besar hingga membuat para pelakunya nyaris tak peduli pada ancaman sanksi.
—Negara memungut tiga hal dalam satu batang rokok. Yakni cukai, pajak rokok, dan dan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau (PPNHT). Total akumulasinya mencapai 68 persen dari harga jual satu bungkus rokok.
Misalnya, rokok merek A dijual dengan harga Rp20 ribu, maka yang disetor ke negara lewat tiga pungutan itu sebesar Rp13.600 per bungkus. Artinya, pabrik hanya mendapat untung Rp6.400 per bungkus.
Angka itu tentu terhitung besar. Terutama bagi produsen yang masih kecil. Itu pula yang menjadi alasan kuat rokok ilegal makin merajalela. Para produsen memang sengaja menghindari pajak yang tinggi.
Sedangkan, biaya produksi rokok ilegal hanya sekitar Rp7.000 per bungkus. Kemudian dijual ke perantara bisa Rp17.000. Sudah bisa mengantongi untung Rp10.000 per bungkus.
Namun, di luar Madura, pengecer biasanya mematok Rp15 ribu per bungkus. Tentu, masih sangat menguntungkan. Ada margin Rp8.000. “Kalau modal Rp9 juta, pulangnya bisa bawa Rp100 juta sampai Rp180 juta dalam sekali pengiriman,” ujar Riki (bukan nama sebenarnya), salah seorang pelaku usaha rokok ilegal.
Skema distribusinya begini. Rokok-rokok gelap itu dikemas dalam slop (kotak berisi 10 bungkus). Dijual dengan harga sekitar Rp70.000 per slop. Lau, beberapa slop rokok itu digabung menjadi satu karton. Dijual seharga Rp1,5 juta kepada distributor ke luar Madura.
“Kalau modalnya Rp80 juta, itu bisa beli sekitar 80 karton,” beber Riki dengan nada datar seolah menceritakan hal yang biasa. Menurutnya, omzet kotor dari satu kali pengiriman bisa mencapai Rp120 juta. Belum termasuk keuntungan tambahan dari peningkatan harga di tingkat pengecer.
Yang paling mengejutkan bukan volumenya, tapi keuntungan bersih. Bisa nyaris dua kali lipat. Modal Rp1,5 juta, pulangnya Rp3 juta. “Tinggal naruh di toko, selesai,” katanya.
Rokok ilegal “bebas” dari pajak. Diproduksi di gudang-gudang gelap. Bahan bakunya murah. Tenaga kerjanya pun dibayar harian tanpa jaminan. Harga jualnya berkisar 30–50 persen lebih murah dari rokok bercukai.
Keuntungan gede itu tentu harus dibayar mahal oleh negara. Pada 2024, misalnya, perdagangan rokok ilegal membuat negara kehilangan potensi penerimaan cukai hingga Rp12 triliun.
Meski undang-undang memberi sanksi berat, denda 10 kali lipat nilai cukai rokok dan penjara maksimal 5 tahun, pelaku mengaku risikonya sepadan. “Kalau ketangkap, ya rugi juga. Tapi kalau lancar, ya sejahtera. Jangan sampai ketangkap, lah,” kata Oki (bukan nama sebenarnya), salah seorang penjual rokok ilegal di Kota Surabaya.
Oki menjajakan rokoknya bermodal koper kayu di atas jok motornya. Koper kayu itu untuk men-display rokok-rokok ilegal. Mereknya pun unik-unik. Ada Ayla, Lexi, Humer, Balveer, Marbol, Lexi, Esss, Mami Baru, dan banyak lainnya.
Ia juga membawa kontainer plastik yang berisi stok rokok. Ia kulakan langsung dari kakak iparnya yang berasal dari Madura. Ya, Oki hanya pengecer kecil yang mudah anda temui di mana-mana.
Tinggal buka koper di pinggir jalan. Uang datang dengan sendirinya. Biasanya, ia berjualan mulai pukul 16.30 WIB sampai 22.30 WIB. Sehari bisa dapat untung bersih Rp200-300 ribu.
Tinggal dihitung saja omzet Oki satu bulan. Bisa menyentuh angka Rp9 juta. Semua rokok yang dijual Oki itu habis dua atau tiga hari saja. Sekali ambil bisa sampai puluhan slop. “Kalau ambil barang lagi paling cepat dua minggu sekali. Enggak tentu juga. Tergantung stok masih ada atau tidak,” katanya.