Balai Pemuda menjadi ruang yang menyatukan pelajar, pedagang, seniman, dan warga kota. Di sana, masa lalu yang terpelihara bertemu dengan kehidupan sehari-hari tanpa sekat.
Siang hari, pelataran kompleks Balai Pemuda ramai oleh langkah kaki yang datang dan pergi. Ada yang duduk di bangku taman sambil menatap layar ponsel, ada yang memotret lengkung jendela klasiknya, ada pula yang sekadar mencari teduh di bawah langit Surabaya yang terik.
Saat malam tiba, lampu-lampu menyala, memberi nuansa dramatis pada dinding tebal dan langit-langit tinggi. Seolah masa kolonial berbisik pelan, sementara kota modern menjawab dengan gelak tawa anak muda dan deru musik dari panggung kecil.
Di antara keramaian itu, May Rossida Tulistyawati hadir hampir setiap hari. Siswi SMA Negeri 6 Surabaya itu menjadikan Balai Pemuda sebagai “kelas kedua” setelah pulang sekolah. Maklum sekolahnya berada tepat di samping Balai Pemuda.
Perpustakaan sejuk dan wifi publik gratis dari Pemkot Surabaya menjadi alasan utamanya. “Saya enggak perlu boros kuota buat tugas daring,” kata May.
Bagi dia, Balai Pemuda lebih dari sekadar tempat belajar. Mushola yang mudah dijangkau memungkinkannya salat Asar tanpa terburu-buru.
BACA JUGA:Transformasi Balai Pemuda, dari De Simpangsche Societeit hingga Alun-Alun Kota Surabaya
BACA JUGA:Dinamika Ruang Seni Balai Pemuda
Kamar mandi bersih, taman terbuka, dan suasana yang tenang membuatnya betah menunggu jemputan orang tua.
Dia pun tak sendirian. Di sudut lain, kelompok pelajar duduk melingkar, laptop terbuka, saling berdiskusi. “Kalau belajar sendiri di rumah kadang malas. Di sini, lihat orang lain semangat, jadi ikut termotivasi,” ujarnya.
Tak jauh dari sana, Lydia menjaga lapak risolnya dengan sabar. Tiap hari, dia menyaksikan bagaimana ruang itu berdenyut, dari sepi pagi hingga ramai malam.
Menurut Lydia, Balai Pemuda adalah tempat berdagang yang aman dan tertib. “Kebersihan selalu dijaga, petugas ramah, dan kalau ada acara, dagangan laris,” tuturnya sambil tersenyum.
Saat festival seni, bazar kopi, atau pertunjukan tari digelar, pendapatannya bisa naik hingga dua kali lipat. “Capek, iya. Tapi alhamdulillah, ada rezeki,” katanya.
Kisah May dan Lydia menggambarkan dua wajah fungsi ruang publik yang saling melengkapi: pendidikan dan ekonomi, belajar dan bertahan hidup, masa depan dan hari ini.
BACA JUGA:Pameran Seni Video Mapping Lumioria di Balai Pemuda, Sajikan Pengalaman Baru Menikmati Karya Seni
BACA JUGA:Sambut Piala Dunia U-17, Bola Raksasa Digelindingkan dari Siola ke Balai Pemuda