Serial Dimaz Muharri (2): Punya Sepatu Basket tapi Terpaksa Pakai Sandal

Serial Dimaz Muharri (2): Punya Sepatu Basket tapi Terpaksa Pakai Sandal

Lapangan Merdeka Binjai adalah tempat bermain Dimaz Muharri kecil. Dari lapangan itulah ia mengenal basket. Tidak banyak anak dari kota kecil yang berada di barat Kota Medan itu yang suka basket. Justru Dimaz yang rajin mempromosikan basket kepada teman-temannya.

--

JARAK tempat tinggal Dimaz dan Lapangan Merdeka hanya "selemparan batu". Sekitar 200 meter. Dimaz kecil cukup berjalan kaki dari rumah orang tuanya di Jalan Sultan Hasanuddin. Rumah itulah yang kini diajukan CLS Knights untuk dijadikan sita jaminan dalam gugatannya di PN Surabaya. Rumah di atas tanah seluas 150 meter persegi yang diwariskan oleh ayahnya.

Rumah itu terdiri dari dua kamar. Dimaz sekamar dengan kakaknya. Perempuan. Cantik. Setelah kuliah, kakaknya tinggal di Medan. Kamar itu pun "dikuasai" Dimaz. Kalau wajah ganteng Dimaz, menurun dari ibunya. "Menurut Via (Selvia Wetty, istri Dimaz, Red) saya mirip mamak," kaat Dimaz.   

CaFOTO KENANGAN Dimaz Muharri bersama orang tua dan kakaknya. (Foto: Dok Dimaz Muharri) ption

Hampir setiap sore, Ndim –begitu mamaknya memanggil Dimaz– bermain di Lapangan Merdeka. Lapangan itu berfungsi seperti alun-alun. Layaknya anak-anak pada umumnya, Ndim bermain sepak bola. Di lapangan itu Dimaz sering melihat orang-orang dewasa bermain basket. "Waktu itu lihat orang main basket kok kayaknya keren," kata Ndim yang kelahiran 17 September 1985 itu.

Saat kelas 6 SD, Dimaz dibelikan bola basket oleh pamannya. Itu antara 1996-1997. Merek bolanya juga sudah keren: Spalding. Merek NBA official game ball. "Dibelikannya bola yang karet," kata Godim –kalau ini adalah panggilan Dimaz oleh kakak dan sepupu-sepupunya.

Godim pun mulai berlatih basket. Bergabung ke klub Birata di Lapangan Merdeka. Kakaknya, Ladini Apti Putri, ia ajak. Hubungan dengan kakaknya sangat dekat. Saat itu sudah SMA. Jarak usia mereka lima tahun.

Ibunya juga mendukung dengan membelikan sepatu basket. Ia masih ingat merek sepatu basket pertamanya: merek Eagle. "Saya juga beli sepatu basket bekas. Kami cari di Medan," kata Godim. Jarak Binjai-Medan memang dekat. Hanya 22 km. Hanya perlu waktu 30 menit. Seperti dari Sidoarjo ke Surabaya.

DIMAZ MUHARRI saat berusia 1,5 tahun. (Foto: Dok. Dimaz Muharri)

Di klub, ia berlatih 3 kali seminggu. Tapi di hari lain ia berlatih sendiri bersama teman-temannya. Kadang-kadang juga berlatih sendiri. Koleksi sepatunya juga bertambah. Meskipun sebagian sepatu bekas. Zaman itu Godim sudah punya Nike Air Flight, Air Jordan, dan Reebok. Orang tuanya cukup mampu. Ayahnya adalah PNS di Agraria (Badan Pertanahan Nasional). Ibunya juga PNS. Di bagian keuangan Kantor Bupati Stabat, Langkat.

"Saya semangat sekali. Tiap hari ke sekolah bawa bola basket," kata Dimaz mengenang masa kecilnya. Sepulang dari SDN 020267 –nama sekolah Dimaz– langsung ke Lapangan Merdeka. Main basket. Ia ajak teman-temannya.

Semua temannya tak memakai sepatu saat bermain basket. Dimaz sebenarnya selalu membawa sepatu basket. Tapi ia tak enak hati dengan teman-temannya. "Terpaksa saya pakai sandal. Kaki saya sensitif kalau tanpa alas kaki," katanya. Akibatnya, ia sering lecet karena gesekan kaki dan sandalnya.

Dimaz akhirnya berhasil mengajak lima temannya bergabung ke klub. Ia pun punya teman latihan yang sebaya. Semangatnya semakin menyala. Tapi itu tak bertahan lama. Satu per satu temannya mrotoli. Kakaknya juga berhenti berlatih basket. Dimaz akhirnya diajak bergabung latihan dengan pemain-pemain senior. Ia paling kecil.

Dimaz sudah telanjur jatuh cinta dengan basket. Walaupun kala itu masih belum benar-benar bisa bermain basket. Saat itu ia sudah membayangkan suatu saat akan menjadi pemain basket profesional. (Tomy C. Gutomo/Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: