Standarisasi Masker
SAAT acara dialog Patriot Covid-19 Jawa Timur dengan founder Harian Disway Dahlan Iskan, ahli virus Prof C.A. Nidom mengusulkan perlunya standardisasi masker di Indonesia. Alasannya, masker yang banyak dipakai masyarakat saat ini masih rentan untuk ditembus oleh virus korona. Apalagi oleh varian-varian baru.
Prof Nidom mengingatkan bahwa ancaman gelombang 3 Covid-19 itu nyata. Apalagi sekarang ada varian lambda yang ditemukan di Peru, Chilli, Argentina dan Ekuador. Varian ini resistan terhadap vaksin yang kini beredar di dunia. Jadi meskipun sudah mendapat suntikan vaksin yang efikasinya tinggi, tetap bisa tertular varian lambda tersebut.
Saat ini, secara resmi memang belum ditemukan di Indonesia. Tapi bisa jadi sudah masuk tapi tidak terdeteksi. Sebab, tracing di negara kita masih sangat lemah. Itulah yang dihawatirkan Prof Nidom. Saat kondisi Covid-19 melandai, kemudian semua lengah. Bukan tidak mungkin serangan gelombang 3 akan benar-benar terjadi. Naudzubillah min dzaalik.
Masyarakat sudah lelah dan mudah lengah. Saat ini situasi Covid-19 melandai. Kasus harian di Indonesia sudah di angka 10 ribu. Saat serangan gelombang 2 lalu pernah mencapai lebih dari 50 ribu kasus per hari. Jawa Timur sudah terbebas dari zona hijau. Meskipun di antara daerah yang zona oranye masih ada yang kategori PPKM level 4. Salah satunya Ponorogo.
Surabaya dan Sidoarjo sudah masuk zona kuning atau risiko rendah. Gresik yang masih zona oranye. Ini momentum yang baik. Tidak ada lagi rumah sakit yang overload. Tidak ada lagi orang kebingungan mencari oksigen. Tentu semua berharap agar semua daerah bisa berubah menjadi zona hijau. Dan jangan sampai kembali menjadi zona merah.
Salah satu caranya dengan membuat standardisasi masker seperti yang diusulkan Prof Nidom. Kampanye memakai masker memang gencar dilakukan. Harga masker juga sudah tidak mencekik leher lagi. Saatnya naik level dengan meningkatkan kualitas masker yang dipakai oleh masyarakat. Tujuannya agar situasi melandai ini bisa dipertahankan.
Kita tahu, masih banyak yang memakai masker sekadar formalitas. Untuk menghindari hukuman sosial dari aparat keamanan. Atau karena diwajibkan oleh pemilik gedung. Jenis masker dan cara memakainya masih asal-asalan. Dan masker yang dijual di pasaran semakin beragam kualitasnya.
Saya miris melihat sebuah TK di Gedangan, Sidoarjo sudah mulai pembelajaran tatap muka. Siswanya mendapat masker yang seragam dengan bajunya. Sayangnya masker kain. Begitu ngeri saya membayangkan aktivitas anak-anak TK tersebut di sekolah.
Menurut Prof Nidom, masker yang cukup aman untuk menahan serangan Covid-19 adalah N95. Dan tentunya KN95. Dua jenis masker itu bisa menyaring lebih banyak partikel di udara. Menyaring 95 persen partikel berukuran 0,3 mikron.
Masker N95 dianggap paling ideal di dunia medis dan konstruksi. Desainnya juga dirancang agar pas dengan wajah. Masket ini dibuat dari serat polipropilen tanpa anyaman. Kadang-kadang ada yang dilengkapi dengan katup agar memudahkan pernapasan.
Lalu apa bedangan dengan KN95? Sama saja. Namun di Amerika KN95 tidak disetujui untuk medis. Sebab, KN95 itu standar Tiongkok. Kita tahu ada apa antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Untuk melakukan standardisasi masker, perlu ada regulasi maupun insentif agar harga masker jenis N95 dan KN95 terjangkau oleh masyarakat. (*)
*) Pemimpin Redaksi Harian Disway
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: