Sudah Kaya, Masih Korupsi?

Sudah Kaya, Masih Korupsi?

APAKAH mereka korupsi karena miskin? Apakah mereka korupsi untuk kebutuhan sehari-hari?

Coba lihat sosok Juliari Peter Batubara yang menjadi koruptor saat menjabat menteri sosial. Ia menyunat bantuan sosial untuk penderita Covid-19. Bukannya bansos ditambah, malah dicolong.

Kalau melihat profilnya, Juliari ini orang kaya yang meloncat ke dunia politik. Ia ahli waris pabrik pelumas yang merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Juliari juga mendapat pendidikan yang baik. Menyelesaikan MBA di Chapman University, Amerika Serikat.

Juga, dikenal sebagai pengurus IMI (Ikatan Motor Indonesia). Sebab itulah, ia populer di kalangan pencinta olahraga otomotif dan wartawan olahraga. Karena itulah, banyak yang heran ketika KPK mengumumkannya sebagai tersangka.

Dari LHKPN (laporan harta kekayaan pejabat negara), Juliari yang di kepengurusan DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjabat wakil bendahara itu memiliki kekayaan Rp 47,1 miliar. Tetap sangat besar.

Begitu pula dengan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Kekayaannya lebih fantastis lagi. Berdasar LHKPN, ia menulis harta kekayaannya mencapai lebih dari Rp 116 miliar.

Sebelum menjadi bupati, ia dikenal sebagai pengusaha muda nan sukses. Memiliki 36 perusahaan dan 40 ribu karyawan. BPR miliknya punya ratusan cabang. Bisnisnya merambah hingga ke Jakarta. Di Nganjuk sendiri ia punya 2.000 karyawan. Dan, itulah yang menjadi  penggerak massa yang membuat bupati masih muda itu menang dalam pemilihan bupati.

Umurnya pun masih muda, 41 tahun. Pandangan dan visinya juga sangat progresif untuk membangun Nganjuk. Suatu ketika, saat bertamu ke kantor Harian Disway, ia memaparkan keinginan membangun Nganjuk sebagai sentra pertanian dan industri. Termasuk membangun industri realestat. Dalam hati saya saat itu, Bupati Novi akan berhasil. Masih muda, energik. Kaya raya pula, tentu tidak akan korupsi dan menolak suap.

Realitasnya, Novi tetap juga berada dalam pusaran korupsi. Ia tertangkap tangan KPK dan Direktorat Tipikor Mabes Polri pada 9 Mei 2021. Sang bupati kena OTT ketika  menerima setoran dari para camat. Jumlah setorannya Rp 2 juta hingga puluhan juta rupiah. Melihat nilainya, tentu kelas suap itu recehan jika dibandingkan dengan harta kekayaan Novi yang tembus ratusan miliar rupiah. Setoran camat itu seujung kukunya.

Yang terbaru, Bupati Probolingga Puput Tantriana Sari. Ia ditangkap bersama suaminya, Hasan Aminuddin. Mereka terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK.

Kasus yang menjerat bupati Probolinggo itu bisa dibilang korupsi recehan juga untuk ukuran tersangka. Yakni, menerima uang suap untuk jabatan kepala desa. Setiap calon kepala desa menyetor Rp 20 juta. Total barang bukti yang ikut disita lebih dari Rp 360 juta.

Dalam LHKPN, Tantri –yang saat ini menjabat bupati kali kedua– melaporkan kekayaan lenih dari Rp 10 miliar. Sedangkan Hasan yang juga menjabat bupati dua periode terakhir melaporkan kekayaan pada 2018. Nilai kekayaannya Rp 7 miliar. Tentu nilai suap Rp 20 juta per orang sebenarnya terlalu kecil bagi mereka. Namun, apa yang membuat mereka tetap dalam belitan korupsi?

Apakah korupsi para bupati atau menteri itu hanya mengalir ke kantong pribadi mereka? Untuk sekelas Juliari ahli waris pabrik pelumas terbesar di Indonesia atau Bupati Novi yang memiliki kekayaan 116 miliar dan puluhan perusahaan itu, rasanya kekayaan yang mereka miliki sudah cukup.

Baik saat Juliari maupun Novi ditangkap, selalu muncul desakan untuk mengusut aliran dana yang dikorupsi itu. Dalam berbagai berita media massa, parpol termasuk yang paling dicurigai mendapat aliran. Pihak aparat pun selalu menjelaskan akan mengusutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: