Tekanan Tak Terlihat
Harian Disway - MENGAPA acara favorit ILC (Indonesia Lawyers Club) berhenti tayang? Represif pemerintahkah? Diberedel penguasakah? Dibungkam rezim Jokowi-kah?
Itulah pertanyaan yang muncul saat ”ulang tahun” pertama hilangnya acara yang dipandu jurnalis senior Karni Ilyas dari layar televisi.
Wajar kalau muncul dugaan pemberedelan itu. Sebab, pembungkaman media kritis terhadap pemerintah merupakan salah satu tolok ukur untuk mendeteksi apakah penguasa itu otoriter atau tidak. Hanya kekuasaan otoriter yang membungkam kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Hanya kekuasaan otoriter yang melakukan pemberedelan dan penangkapan tanpa pengadilan.
Cap otoriter Orde Baru makin kuat setelah menutup majalah Tempo, Gatra, dan tabloid Detik. Tempo menemui ajalnya setelah majalah legendaris, setelah memuat laporan investigasi kapal bekas dari Jerman. Pemerintah Soeharto terusik dengan laporan itu. Detik pun sering menurunkan tulisan yang membuat penguasa tidak senang.
Era Soekarno juga menunjukkan watak pemberedelan tanpa pengadilan. Misalnya, Panji Masyarakat dan Indonesia Raya yang menemui ajal. Panjimas dibungkam setelah menurunkan tulisan Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita. Tulisan itu dianggap menyerang Bung Karno. Tak hanya diberedel, pemimpin Panjimas Buya HAMKA juga dijebloskan ke penjara.
Era reformasi memberikan harapan cerah untuk kebebasan berpendapat. Presiden B.J. Habibie yang mengganti Soeharto langsung menghapus SIUP, perizinan khusus penerbitan media massa. Media sudah tak perlu lagi izin. Di era Soeharto, pencabutan SIUP, cara untuk membungkam media massa yang berseberangan.
Presiden Gus Dur, pengganti Habibie, lebih revolusioner lagi dalam menjamin kebebasan berpendapat. Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan (Deppen), lembaga yang menjadi algojo pemberedelan. Tamat sudah departemen yang menjadi momok penguasa media.
Kembali ke penghentian tayangan ILC. Adalah ekonom Rizal Ramli yang bertanya, mengapa ILC berhenti tayang? Apakah karena televisi sudah kalah oleh podcast? Atau apakah karena kekuasaan?
Mendapat pertanyaan itu, Karni Ilyas menjawab: ”ILC itu menjadi acara yang menonjol. Tapi, karena rating tinggi itulah yang membuat tekanan dari berbagai penjuru.”
Sontak jawaban Karni itu mendapat berbagai respons. Termasuk dari Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkum HAM Yasonna Laoly. Dua menteri tersebut menegaskan tak pernah menekan Karni. Mereka pun ikut penasaran dengan hilangnya tayangan favorit itu.
Pemberedelan ILC menjadi misteri. Di satu sisi, Karni menceritakan adanya tekanan. Di sisi lain, para pejabat pemerintah menegaskan tak menekan. Bahkan, Presiden Jokowi termasuk yang penasaran mengapa acara dihentikan.
Lantas, siapa yang menekan? Adakah kekuatan lain?
Kita dapat becermin dari pemberhentian kasus karyawan KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Awal kasus itu mencuat pada Mei 2021, Jokowi sudah menegaskan tidak boleh merugikan karyawan KPK itu. Sempat muncul harapan tidak akan ada pemberhentian karyawan KPK. Namun, kenyataannya, pimpinan KPK tetap memberhentikan Novel Baswedan dan kawan-kawan. Banyak yang menilai putusan Jokowi tidak diindahkan.
Apakah memang ada kekuatan lain?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: