Palsukan Faktur Pajak, Direktur PT Antartika Transindo Disidang
MAJELIS hakim yang diketuai Johanis Hehamony menolak eksepsi yang diberikan penasihat hukum terdakwa. Karena itu, mejelis hakim minta sidang dengan terdakwa Alfis Indra dilanjutkan sehingga masuk pokok perkara.
”Majelis hakim menolak seluruhnya eksepsi yang diberikan terdakwa. Karena itu, perkara ini akan tetap dilanjutkan,” kata hakim Johanis saat membacakan putusan sela di Ruang Candra, Pengadilan Negeri Surabaya, kemarin (27/9).
Sementara itu, jaksa penuntut umum (JPU) Nur Rahmansyah dalam persidangan selanjutnya akan menghadirkan saksi dari kanwil pajak. ”Saksi akan menjelaskan semua. Tapi, nanti kami buktikan semua dakwaan itu dalam persidangan,” katanya seusai persidangan.
Dalam waktu berbeda, Yusuf Efendi, penasihat hukum terdakwa, mengatakan bahwa tidak semua yang ditulis dalam dakwaan jaksa itu benar. Ada beberayang pa sudah direvisi. Tapi, tidak ditulis dalam dakwaan. Awalnya memang benar jumlah semuanya Rp 1,9 miliar. ”Tapi, setelah direvisi, tidak sampai segitu lagi,” ungkapnya.
Alfis adalah direktur PT Antartika Transindo. Perusahaan itu bergerak di bidang usaha forwarding. Yaitu, jasa pengurusan angkutan atau transportasi barang antarpulau. Dengan klasifikasi lapangan usaha (KLU) jasa pengurusan transportasi.
Perusahaan itu akan menerima konsumen yang meminta jasa mereka untuk mengirimkan barangnya. Bila ada modal, perusahaan terdakwa itu mengerjakan sendiri. Tapi, kalau tidak, akan disubkan ke perusahaan lain. Pembayaran bisa tunai atau transfer ke rekening perusahaan atau rekening pribadi terdakwa.
Dari kegiatan tersebut, PT Antartika Transindo menerbitkan faktur pajak, surat jalan, dan invois kepada konsumen. Kewajiban terdakwa, melaporkan dan menyetorkan atas transaksi penyerahan jasa. Selama satu masa pajak dalam surat pemberitahuan pajak pertambahan nilai (SPT PPN) harus dilakukan.
Laporan itu diberikan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wonocolo. Perusahaan yang dipimpin terdakwa tersebut terdaftar sebagai wajib pajak. SPT PPN dibuat oleh saksi Shany Yomoginta.
Dia merupakan pegawai di perusahaan tersebut. Pembuatan berkas tersebut berdasar faktur pajak keluaran, faktur pajak pemasukan, dan lainnya. Tentu, data itu diberikan terdakwa. Setelah Shany selesai membuat, faktur diberikan kembali ke terdakwa untuk selanjutnya ditandatangani.
Sejak 2011 sampai 2013, perusahaan yang dipimpin terdakwa telah melaporkan faktur pajak yang masuk dari lima perusahaan. Padahal, PT Antartika Transindo tidak pernah melakukan transaksi dengan perusahaan tersebut. Karena itu, faktur pajak yang dilaporkan tidak sebenarnya (fiktif).
Karena fiktif, tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran PT Antartika Transindo. Tujuan terdakwa memasukkan beberapa perusahaan tersebut ialah mengurangi pajak pertambahan nilai yang seharusnya disetor ke kas negara.
Faktur pajak yang diterbitkan beberapa perusahaan tersebut berasal dari makelar faktur pajak. Terdakwa saat itu minta saksi Herman membelikan faktur pajak tersebut. Herman membelinya seharga 30 persen dari nilai PPN yang dibayarkan.
Akibat perbuatan terdakwa yang menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS), timbul kerugian dalam pendapatan negara berupa PPN sejak 2011 sampai 2013 sebesar Rp 1,9 miliar.
Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 39A huruf a Undang-Undang (UU) RI Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU RI 16/2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 5/2008 tentang Perubahan Keempat atas UU RI 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (Michael Fredy Yacob)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: