JK Way
Harian Disway - SEKARANG muncul istilah baru dalam panggung politik kita. ”Barisan Celeng Berjuang” namanya. Lahir dari sejumlah kader PDIP. Mereka ialah kelompok yang kini mengeklaim diri sebagai pendukung Ganjar Pranowo.
Istilah itu berawal dari Bambang Pacul, politikus PDIP juga. Bambang merupakan kader penting di partainya. Jabatannya strategis. Yakni, ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu. Selain itu, ketua DPD PDIP Jawa Tengah, daerah basis utama partainya. Lebih dari itu, Bambang dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan Puan Maharani terkait Pilpres 2024.
Bambang menyebut para kader partainya yang mendeklarasikan capres mendahului keputusan partai tak ubahnya ”celeng” . Adagiumnya, kalau keluar dari barisan banteng, berarti ya celeng. Pria bernama lengkap Bambang Wuryanto itu tidak suka dengan kader yang mulai marak mendeklarasikan Ganjar sebagai capres.
Sontak, sindiran Bambang itu langsung mendapat reaksi dari pendukung Ganjar. Kader PDIP di Purworejo yang bergabung dalam SGI (Seknas Ganjar Indonesia), misalnya, langsung membuat logo celeng bertaring putih. Celeng merah dengan dasar hitam. Karakter warna mirip lambang PDIP si banteng moncong putih.
Media sosial pun marak. Netizen pun heboh dengan kemunculan logo celeng bertaring putih. Muncul kesan seolah banteng vs celeng. Sepertinya, para kader PDIP yang mendukung Ganjar menemukan simbol perlawanan baru.
Bukan kali ini saja Bambang membuat pendukung Ganjar kecewa. Beberapa waktu lalu, saat Bambang melakukan konsolidasi PDIP Jateng, Puan hadir sebagai pembicara. Ganjar tak diundang. Padahal, Ganjar adalah kader senior PDIP. Gubernur Jateng lagi, yang punya ”wilayah”.
Sejak saat itu makin jelas di PDIP ada dua arus pendukung Capres 2024. Ganjar dan Puan. Di beberapa daerah mulai muncul kader yang mendeklarasikan Ganjar. Di sisi lain, di seluruh pelosok Indonesia muncul ribuan baliho Puan. Deklarasi vs baliho.
Di Pilpres 2004, sempat juga muncul kasus hampir mirip, banyak kader yang layak capres. Saat itu di internal Golkar. Partai beringin tersebut juga punya banyak kader yang siap jadi capres dan cawapres. Partai Golkar menjatuhkan pilihan ke Wiranto sebagai capres. Hasil konvensi. Sementara itu, Jusuf Kalla (JK) yang juga didukung banyak arus bawah memilih jalan lain.
JK memilih bergabung dengan SBY. Maju dengan paket SBY-JK lewat Partai Demokrat. Dan, menang. Tak hanya mengalahkan Wiranto dan Golkar. Tetapi, juga menumbangkan petahana Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Hebatnya lagi, setelah memenangi pilpres, JK diterima dengan baik saat pulang ke rumah politiknya itu. Walau telah mbalelo, ia malah disambut sebagai pahlawan. Dan, terpilih sebagai ketua umum Golkar.
JK way itu sebenarnya juga banyak mengilhami beberapa pemilihan kepala daerah. Para kader potensial yang diusung partainya memilih jalan berbeda. Memilih kendaraan politik lain. Maju lewat partai lain.
Salah satunya petahana Wali Kota Medan Akhyar Nasution dalam kontestasi pilwali 2020. PDIP, partainya Akhyar, memilih Bobby Nasution. Akhyar menempuh JK way, maju lewat partai lain, yakni Demokrat dan PKS. Kasus di Medan itu, JK way kalah. Bobby yang menantu Jokowi terbukti superkuat.
Apakah Ganjar Pranowo akan menempuh JK way? Hanya Ganjar yang bisa menjawabnya. Ada pula dinamika politik yang akan menentukan.
Yang pasti, Megawati sudah terbiasa menghadapi kadernya yang memilih jalan lain. Apakah mereka yang mendirikan partai baru atau mempunyai pandangan yang berbeda. Termasuk saat orang dekatnya seperti Eros Djarot yang memilih keluar dari PDIP, lalu mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) yang kemudian berubah menjadi Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: