Bolos Ngaji karena Main Bola

Bolos Ngaji karena Main Bola

Salah satu sosok santri yang menjadi pemimpin di negeri ini adalah Saifullah Yusuf. Tokoh yang biasa disapa Gus Ipul itu pernah menjadi menteri, wakil gubernur, dan wali kota. Alumnus Pondok Pesantren Mamba'ul Ma’arif, Denanyar, Jombang itu menjadi politikus karena diajak ke Jakarta oleh KH Abdurahman wahid.

---

ADA banyak kenangan mendalam bagi Gus Ipul saat nyantri di Ponpes Mamba'ul Ma'arif, Denanyar, Jombang. Sejak kecil ia dikirim oleh orang tuanya, pasangan Ahmad Yusuf Cholil dan Sholichah Hasbullo, ke ponpes yang didirikan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Bisri Syansuri. Di sana ia sepondok dengan kakak beradik Muhaimin Iskandar dan Halim Iskandar, tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Saat di duduk di bangku Madrasah Tsnawiyah, Gus Ipul lagi senang-senangnya main sepak bola. Pulang sekolah, ia dan Muhaimin sering bergabung dengan anak-anak kampung di Denanyar untuk main bola. "Sampai bolos ngaji untuk main bola," kenang Gus Ipul lantas tertawa.

Bersama Muhaimin, ia membuat klub bola dan bertanding dengan klub dari kampung lain. Santri kelahiran 28 Agustus 1964 itu berposisi sebagai penjaga gawang. Saking seringnya bolos ngaji, ia sampai dicari-cari oleh para guru. Sampai akhirnya ketahuan kalau main bola. Sebenarnya main bola tidak dilarang. Tapi bolos ngajinya itu tentu jadi masalah. Sampai akhirnya ia dihukum tidak boleh bermain bola.

"Kalau ingat masa itu saya tertawa sendiri. Dulu pulang dari madrasah langsung ke lapangan diam-diam," kata mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Kenangan lain saat mondok adalah saat makan. Para santri, kata Gus Ipul, harus masak sendiri untuk makan sehari-hari. "Kalau selesai makan, baki itu langsung dilempar. Nggak dicuci,'' ujar suami Ummu Fatma itu. "Nah, besok yang mau makan harus nyuci tempat makan itu," lanjutnya lantas tertawa.

Ia mentas mondok tahun 1979. Meskipun termasuk "darah biru" tidak ada perlakuan khusus. Semua santri diperlakukan sama. Menurut Gus Ipul, saat mondok itu tertanam kedisplinan dan jiwa kebersamaan sesama santri. Susah dan senang bersama. Para santri sudah biasa hidup prihatin. Sederhana. Apalagi kalau kiriman dari orang tua telat atau kurang. Itu hal biasa. Para santri sudah biasa saling membantu.

Selepas mondok di Jombang, Gus Ipul meneruskan sekolah umum di Pandaan, Pasuruan. Sampai lulus SMA. Setelah lulus SMA itulah, Gus Ipul diajak pamannya, K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ke Jakarta. Saat itu, Gus Dur adalah ketua umum PB NU. Ia sempat tinggal selama 6 tahun di rumah Gus Dur di Ciganjur. "Saya awalnya tidak mau. Berangkat ke Jakarta sambil menangis," kenang Gus Ipul.

Dari situlah ia belajar politik dari Gus Dur. Ia manfaatkan waktu-waktu bersama Gus Dur untuk belajar banyak hal. Juga punya kesempatan mengenal banyak tokoh nasional. Hal itulah yang kemudian membawanya ke dunia politik.

Saat kuliah di Universitas Nasional, Jakarta, ia menjadi aktivis. Aktif di sejumlah organisasi. Pernah menjadi ketua HMI Cabang Jakarta. Juga sempat menjadi ketua Senat Mahasiswa Fisip Unas. Sebagai kader NU, Gus Ipul juga pernah menjadi ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Puncak karir organisasi NU sebagai Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor dari 1999-2010.

Pada Pemilu 1999, NU mendirikan PKB. Gus Dur adalah tokoh sentral PKB saat itu. Tapi oleh Gus Dur Gus Ipul justru diutus menjadi caleg di PDI-Perjuangan. Maka, jadilah Gus Ipul menjadi anggota DPR RI dari fraksi PDIP. "Kata Gus Dur, kamu mewakili saya di PDIP saja. Sebagai jembatan komunikasi antara Gus Dur dan Megawati," kata Gus Ipul.

GUS IPUL menghadiri silaturahmi habib, kiai, tokoh, dan alumni pesantren se-Bangkalan di Pondok Pesantren Syaichona Cholil, Bangkalan (3/5/2018)

Masuknya Gus Ipul ke PDIP saat itu dinilai sebagai simbol koalisi antara Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP. Sebagai bentuk dukungan NU ke PDIP yang saat itu berjuang melawan tirani Orde Baru.

Gus Ipul tidak lama menjadi anggota DPR. Ia pamit kepada Megawati setelah Gus Dur lengser pada 2001. Sebagai keponakan Gus Dur, tentu ia merasa tidak enak hati berada di PDIP. "Saya mundur baik-baik. Bu Mega bisa menerima alasan saya," kata mantan Wakil Gubernur Jawa Timur dua periode itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: