I-Nose Terinspirasi dari Anjing

Untungnya Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) mau memberi pendanaan. Hanya Rp 700 juta. Angka itu sangat kecil. Dibandingkan dana yang didapat dari bisnis swab PCR. Riyan butuh lebih banyak dana lagi.

I-Nose diklaim menjadi alat pertama pendeteksi virus melalui bau. Kemudian ada peneliti dari berbagai negara mengikuti jejak Riyan. Seperti negara Thailand maupun Amerika.

Prof Riyanarto Sarto menjelaskan beberapa temuannya kepada Harian Disway
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Kini tinggal bagaimana pemerintah mau mendukung karya anak bangsa. Bukan tidak mungkin ke depannya, I-Nose bakal gagal dipakai. Seperti penelitian obat kombinasi Covid-19 yang dibuat tim Universitas Airlangga. Maupun Vaksin Nusantara yang dibikin mantan Menkes Terawan Agus Putranto.

”Nanti kalau Thailand atau Amerika membuat produk seperti I-Nose, baru ramai dibicarakan. Kita ini mental terjajah. Tidak percaya diri dengan temuan sendiri. Penelitian saya ya sering diejek. Dianggap tidak logis karena belum ada referensinya,” gerutu bapak tiga anak itu.

Meski begitu banyak penelitian Riyan diakui dunia. Layak bila ia mendapat dua kali gelar 2 persen peneliti berpengaruh dari Stanford University. Bahkan dua tahun lalu, ia mendapat penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Sebagai guru besar paling produktif. Menghasilkan karya tulis hasil penelitian terbanyak di Indonesia.

Bagi Riyan, yang terpenting adalah tekad belajar harus tinggi. Prinsip itu yang membuatnya disegani oleh mahasiswa. Bahkan banyak murid yang ogah memilihnya sebagai pembimbing skripsi, tesis maupun disertasi.

”Murid saya harus ulet. Mentalnya harus kuat. Jadi sering saya kasih penelitian yang memang sedang dibutuhkan di era sekarang. Tapi tidak mudah menyelesaikannya. Namun lihat sisi yang lain. Rata-rata murid bimbingan saya, kalau sudah lulus S-1 gajinya minimal Rp 8 juta,” ungkap Riyan kemudian terkekeh. (Andre Bakhtiar)

 

 

Sumber: