Aktivitas Koko Aloisius Thomas Suarakan Bhinneka Tunggal Ika di Kelenteng Cokro

Aktivitas Koko Aloisius Thomas Suarakan Bhinneka Tunggal Ika di Kelenteng Cokro

Finalis Koko Cici Jatim 2021 Aloisius Thomas berkunjung ke Kelenteng Hong San Koo Tee. Guna membuat konten promosi pariwisata oleh panitia Koko Cici Jawa Timur. Ada pesan yang disampaikannya.

Melihat kesatuan dan persatuan Indonesia bisa dari banyak tempat. Tak perlu menunggu perang atau hal besar terjadi. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika dapat dirasakan di tempat yang bersejarah. Aloisius mencoba memberikan informasinya saat berkunjung ke salah satu tempat bersejarah di Surabaya.

Tempat itu adalah Kelenteng Hong San Koo Tee. Atau biasa disebut dengan Klenteng Cokro. Nama itu datang karena bangunan itu terletak di Jalan Cokroaminoto nomor 12.

Berada di pusat kota membuatnya mudah diakses. Usianya lebih dari satu abad. Dibangun pada 1919. Thomas merasa masyarakat layak untuk mendatangi Kelenteng Cokro.

Di dalamnya terdapat berbagai macam patung dewa yang disakralkan. Mulai dari Kwan Im Poo Sat, Buddha, Chai Sen, Ho Tek Ceng Sin, Kwan Kong, Dewa Bumi, Dewa Langit, dan lain-lain. Termasuk patung Dewi Sri sebagai pemberi pertolongan dan rezeki.

Aloisius Thomas (kiri) dan Steffi Alyssandrea berdiskusi di sela-sela pembuatan tugas konten pariwisata budaya Tionghoa di Klenteng Hong San Koo Tee.

Informasi tersebut sudah diketahui Thomas sejak kecil. Tantenya kerap membawanya ke sana sehingga ia merasa punya kedekatan karena kenangan telah terbangun.

”Karena sering ke sini sejak masih anak-anak, saya langsung teringat Kelenteng Cokro saat diminta membuat konten promosi pariwisata oleh panitia Koko Cici Jawa Timur,” katanya.

Saat beranjak dewasa, Thomas sudah mulai jarang berkunjung. Terlebih kesibukannya karena aktif berkegiatan di sekolah sampai kuliah. Begitu datang kembali setelah sekian lama, ia merasa ada sedikit keprihatinan. Kelenteng Cokro yang ia kenal dulu sudah tidak seramai sekarang.

Ia memaklumi kondisi pandemi yang membuat ibadah tidak bisa dilaksanakan beramai-ramai seperti dulu. Padahal biasanya pengurus kelenteng mengadakan ibadah bersama setiap pukul 12 siang. Umat berkumpul sampai sesak. Mereka berharap keberkahan dan keselamatan kepada dewa-dewi di dalam.

”Ada sedikit rasa sedih ketika tahu Kelenteng Cokro tidak seramai dulu. Mungkin karena pandemi jadi orang-orang tidak bisa datang. Saya merindukan suasana klenteng yang ramai. Orang-orang kalau lagi waktu ibadah sampai ndusel sana-sini. Mereka melakukan itu supaya bisa memanjatkan doa bersama dan menikmati hiruk-pikuk seperti sedia kala,” tukasnya.

Diceritakan pula bahwa bangunan telah mengalami perluasan. Thomas mendapat informasi itu setelah mewawancarai Ibu Dina, keturunan generasi kelima dari pendiri Klenteng Cokro. Bangunan utama ada di dalam, setelah masuk pagar kedua.

Sementara area luar baru dipercantik setelah 2000. Dibangun beberapa tempat ibadah tambahan, gudang, sampai perluasan lahan parkir. Termasuk memasang ubin mulai gerbang depan sampai pagar kedua supaya masyarakat lebih nyaman berlalu lalang. Termasuk merapikan area taman sehingga nampak lebih asri.

Thomas sempat terpikirkan sejumlah lokasi lain untuk dipromosikan. Namun, niatnya bukan lagi untuk membuka kenangan. Ia sekaligus ingin masyarakat tahu kalau Kelenteng Cokro menyimpan banyak hal.

Tempat itu sering sekali menjadi rumah untuk berbagai aktivitas kemanusiaan. Tidak hanya bagi umat Tri Dharma, tapi semua tanpa pandang bulu. Ia ingat, area antara gerbang utama ke pagar menuju bangunan biasanya dipakai banyak sekali aktivitas. Mulai dari bakti sosial ke masyarakat tidak mampu, pergelaran barongsai, sampai tempat untuk buka bersama umat Muslim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: