Junjung Tunjungan

Junjung Tunjungan

Kalau perlu, memberikan insentif kepada pengusaha yang ingin mendirikan kafe atau restoran di sepanjang Jalan Tunjungan. Misalnya, membebaskan pajak restoran selama 2 tahun. Juga, mengundang beberapa brand kafe yang kuat untuk membuka usaha di jalan tersebut.

Selain itu, bisa dengan mengizinkan brand lokal untuk membuat permanen start-up kafe di sepanjang jalan. Dengan titik-titik yang sudah ditentukan pemerintah kota. Dengan begitu, para pejalan kaki bisa membeli minuman atau makanan kecil dengan take away.

Belakangan, sisi selatan Jalan Tunjungan sudah tampak hidup. Bukan karena kegiatan pemerintah. Tapi, karena ada coffee-coffee shop yang atraktif di depan Hotel Majapahit yang legendaris itu. Menjadi tempat nongkrong anak muda sekaligus objek fotografi mereka yang ingin nampang.

Bahwa pemerintah kota ingin lebih meramaikan dengan berbagai kegiatan, itu tentu sangat membantu. Tapi, sekali lagi, sebaiknya itu hanya pancingan. Selebihnya, gerakkan warga untuk menghidupkan suasana. Pemerintah menjadi pengatur sekaligus mendistribusikan jadwal dan keramaian.

Menggerakkan warga Surabaya untuk berpartisipasi dalam setiap program pemerintah sangatlah gampang. Apalagi kalau program tersebut memberikan manfaat kepada mereka. Apalagi kalau program itu makin membuat kotanya moncer dan menumbuhkan kebanggaan baru.

Setelah junjung Tunjungan berhasil, tampaknya yang perlu dilakukan kembali adalah memasarkan berbagai destinasi wisata kota ke luar. Menciptakan city brand baru yang sesuai dengan mood era sekarang.

Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan Surabaya. Mulai dengan wisata belanja, wisata kuliner, wisata kesehatan, sampai dengan wisata kota tua atau wisata sejarah. Semua itu sudah mulai digerakkan secara mandiri oleh warga. Yang akan makin dahsyat jika pemerintah mendukungnya.

Saya jadi teringat dialog dengan para kepala dinas saat hendak membangun pariwisata kota satu setengah dekade yang lalu. Saat itu becak masih banyak di Surabaya. Ketika hendak mengenalkan city brand dengan istilah asing, seorang kepala dinas langsung menyela: ”Itu tak dipahami tukang becak.”

Saya pun dengan nada guyon menjawab, city brand bukan ditujukan untuk tukang becak. Tapi, untuk orang-orang di luar Surabaya. Dengan city brand yang atraktif, mereka menjadi tertarik dengan kota kita. Lalu, berdatangan di kota ini. Saat di sini, mereka naik becak dan menghidupi mereka.

Membangun pariwisata, pada dasarnya, bukan sekadar menyediakan destinasi yang nyaman untuk dinikmati. Ia bisa memberikan dampak kepada ekonomi kota. Dengan makin banyak orang yang berdatangan dan membelanjakan duitnya, dengan sendirinya makin banyak uang yang beredar.

Pemerintah atau negara tinggal mengatur strategi bagaimana agar uang yang beredar menyentuh berbagai kalangan. Mulai pengusaha besar sampai dengan pengusaha kecil. Juga, mereka yang bergerak di bidang industri jasa. Dari yang kakap sampai yang teri. Apa pun saja.

Destinasi wisata juga mempunyai makna sosial. Ia akan menjadi tempat interaksi warga. Pusat interaksi warga yang terbuka akan membangun kohesivitas sosial. Yang pada akhirnya akan menciptakan harmoni sebagai sumber dari keamanan kota.

Jadi, junjung Tunjungan tidak hanya akan bermakna ekonomi. Tidak sekadar mengungkit pertumbuhan ekonomi kota. Tapi, juga menyediakan ruang terbuka interaksi warga yang murah meriah. Memberikan ruang alternatif bagi yang bosan atau tak mampu jalan-jalan di pusat perbelanjaan.

Mlaku-mlaku nang Tunjungan pada akhirnya bukan hanya romansa. Tapi, juga membangun kenyamanan kota. Bisa memakmurkan warga dengan gembira. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: