Hati yang Memberontak

Hati yang Memberontak

Puisi menjadi penuang isi hati Tri Sulistyowati. Ada pikiran, pendapat, dan perasaannya. Terangkum dalam Antologi Puisi Gaya Tri Jilid 2.

Bagi Tri, puisi adalah untaian kata yang menyimpan beribu makna. Puisi juga ungkapan rasa yang tak terucap. ”Semua puisi yang saya tulis berlatar belakang kegelisahan hati,” ungkapnya.

Terkadang Tri melihat sebuah peristiwa yang memiriskan hatinya, kemudian ia mengutarakan perasaannya lewat puisi. ”Hati saya memberontak, dan jalur paling nyaman untuk itu adalah lewat puisi,” ujarnya.

Seperti saat ia menyaksikan tsunami yang terjadi di Pantai Anyer, pada 22 Desember 2018. Baginya, semua bencana alam yang terjadi adalah tanda kebesaran Tuhan.

Sering kali manusia melupakan hal itu, terlena dengan keserakahan, lalu meratap ketika bencana datang akibat keserakahan tersebut. Tri menuangkannya dalam puisi berjudul Sebuah Penanda.

Tsunami/Dahsyat bagai geliat banteng mengamuk/Meninggi/Menghempas sejauh jangkauan yang ia mampu/Tak kuasa membawa serta segala yang ditemuinya/Menyapu bersih bibir pantai yang bernyanyi memanggil namanya/Sayangnya/Manusia melupakan tanda-tandanya/Sampai sebagian kita ikut menjadi saksi kedahsyatannya/Hingga datang menjadi tamu-Nya.

Begitulah cuplikan puisi karya Tri tentang kejadian tsunami Pantai Anyer. Puisi-puisi Tri yang merespons segala kejadian sepanjang 2018-2019, diterbitkan menjadi buku antologi puisi berjudul Gaya Tri Jilid II oleh Penerbit Embrio.

Buku tersebut adalah kelanjutan dari buku Gaya Tri Jilid I yang diterbitkan pada 2019. Tentu sama dengan buku sebelumnya, Tri masih memanfaatkan puisi sebagai media ekspresi terbaik. “Puisi bagi saya adalah serangkaian kata yang sarat makna. Meski hanya sebaris kalimat, mampu bercerita tentang sebuah peristiwa,” ujar alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga itu.

Bahasa puisi karya Tri tampak lugas, terkadang tanpa selubung metafora yang tak membuat pembaca berpikir keras untuk mengurai maknanya. Namun justru kelugasan tersebut menyiratkan ekspresi emosionalnya ketika merespons sebuah hal.

Tanpa terlalu tedeng aling-aling. Seperti ciri kultur arek. Dia pun asli Sidoarjo, yang juga masih jadi bagian dari kultur arek tersebut.

Seperti ketika dia menanggapi fenomena maraknya narkoba dan alkohol di kalangan generasi muda. Bagi para pemadat maupun alkoholik, narkoba dan alkohol dianggap sebagai minuman surga.

Kritik atas terlenanya para pemuda dengan barang-barang terlarang itu diungkapkan Tri lewat puisinya berjudul Racun Minuman Surga.

Potret generasi salah asuh/Melanda kalangan secara menyeluruh/Dari gang sempit di kota besar/Hingga ke desa sudah tersebar/Merusak dan merenggut pemuda masa depan/Tak terhitung korban berjatuhan/Mari gandeng tangan satukan tekad/Perangi obat dan minuman laknat.

Lewat puisi itu, segala yang jadi kegelisahan Tri dituang melalui sarana tersebut. Dalam prosesnya, ketika menemukan kesulitan dalam menulis, tak jarang ia harus melihat-lihat kamus KBBI. ”Untuk memperkaya diksi saya memang membuka kamus. Sering juga meminta pendapat orang lain,” ujar perempuan 50 tahun itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: