Tiongkok, Indonesia, dan Jebakan Negara Kaya

Tiongkok, Indonesia, dan Jebakan Negara Kaya

Karena itu, dengan memaksa negara lain melakukan liberalisasi ekonomi dan politik, Chang mencurigai negara Barat sengaja ”menendang tangga yang dulu pernah mereka naiki” agar negara lain tidak bisa memakainya untuk ikut menjadi kaya seperti mereka.

 

Pelajaran dari Tiongkok

Tak heran bila beberapa tahun terakhir mulai banyak orang Tiongkok yang merenungkan: apakah Tiongkok akan semaju sekarang seandainya unjuk rasa akbar menuntut demokrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989 itu sukses?

Menariknya, sebagaimana pada pertengahan 2014 diakui Wang Juntao, aktivis yang dituding pemerintah Tiongkok sebagai aktor intelektual di balik demo Tiananmen tersebut, bahkan yang kala itu ikut demonstrasi pun kini tak sedikit yang berubah pikiran: memandang negatif dan pelan-pelan melupakan gerakan mahasiswa itu, lalu beralih mendukung kebijakan mengedepankan penggalakan pembangunan ekonomi yang dijalankan pemerintah Tiongkok.

Saya jadi teringat ketika dulu mengambil mata kuliah politik Tiongkok kontemporer. Waktu itu saya kebagian presentasi mengenai perbandingan sistem politik Tiongkok dengan negara lain. Kebetulan waktu itu tahun 2014, Indonesia sedang panas-panasnya menghelat pemilihan presiden –yang kelak menjadikan masyarakat Indonesia terpolarisasi berkepanjangan. Dengan bangga saya katakan kepada para mahasiswa pascasarjana di kelas, ”Lihatlah Indonesia, kami menerapkan demokrasi, bisa memilih langsung presiden kami sendiri. Kalian kan tidak bisa.”

Bukannya terkagum-kagum, seorang mahasiswa menjawab dan jawabannya itu sepertinya baru akan bisa saya lupakan kalau Indonesia sudah semaju Tiongkok: ”Buat apa kalian punya demokrasi, tapi kalian tidak sesejahtera kami?”

Jawaban menyengat mahasiswa Tiongkok itu barangkali bisa dimaklumi. Pasalnya, GDP per kapita Tiongkok pada 1980 (ketika kebijakan reformasi dan keterbukaan baru diejawantahkan Deng Xiaoping) hanya sekitar USD 195, sedangkan Indonesia jauh lebih tinggi: USD 492.

Namun, pada 2020, tatkala GDP per kapita Tiongkok telah mencapai USD 10.500, GDP per kapita Indonesia masih di angka USD 3.870. Berarti, selama 40 tahun, GDP per kapita Tiongkok naik 53 kali lipat, sedangkan GDP per kapita Indonesia cuma 8 kali lipat.

Jika mengikuti tesis Chang, pesatnya kemajuan Tiongkok itu diraih selain karena tidak mau tunduk pada apa yang didiktekan negara Barat untuk meliberalisasi politik dan ekonominya; juga karena kepercayaan diri serta kemauan untuk mengambil pelajaran dari pihak mana pun yang kemudian disesuaikan dengan falsafah bangsa dan kondisi riil negaranya.

Sedangkan lambatnya perkembangan Indonesia, boleh jadi karena sejak 1967, kata Kwik Kian Gie dalam penutup opininya di harian Kompas (20/10/2021), pemerintah kita ”secara sistematis dan konsisten terus ... menjalankan kebijakan ekonomi sangat liberal” yang ”tak ada miripnya dengan Pancasila dan UUD 1945” sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara kita.

Kalau benar begitu, jangan-jangan Indonesia telah terjerat ”jebakan negara kaya”. (*)

 

*) Alumnus Huaqiao University dan Xiamen University, Tiongkok

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: