Para Pangeran
Harian Disway - HUTOMO Mandala Putra alias Tommy Soeharto dikenal dengan julukan Pangeran Cendana. Muda, ganteng, berkuasa, dan kaya raya. Itulah gambaran Tommy pada 1990-an. Hidupnya penuh gelimang harta, takhta, wanita, dan Toyota.
Harta jangan ditanya. Sudah pasti Tommy kaya raya. Takhta, apalagi. Kekuasan ada di genggaman. Sebagai anak kesayangan Soeharto, Tommy punya kekuasaan yang sangat besar. Soal wanita, Tommy jagonya. Sederet wanita super-cantik mengantre untuk disandingnya.
Toyota? Tommy punya hobi otomotif, suka balapan dan mengoleksi mobil mewah. Karena hobi otomotif itu, Tommy lalu membangun Sirkuit Sentul. Pada 1996 sirkuit tersebut pernah dipakai untuk balapan MotoGP. Ketika itu pembalap Michael Doohan menjadi kampiun dunia di Sentul.
Hobi otomotif Tommy kemudian disalurkan ke dunia bisnis. Ketika itu muncul gagasan proyek mobil nasional (mobnas) yang diberi nama Timor. Bukannya memproduksi mobil sendiri, ternyata proyek mobnas malah mengimpor 45 ribu unit mobil dari luar negeri dan tinggal ditempeli nama ”Timor”. Tommy mendapat berkah besar dari sang bapak karena mendapatkan lisensi tunjuk langsung sebagai pengimpor tunggal.
Bisnis Tommy menggurita ke mana-mana. Ia memperoleh monopoli perdagangan cengkih melalui pembentukan BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh). Sesuai dengan namanya, ”badan penyangga”, badan itu seharusnya menyangga harga cengkih.
Namun, yang terjadi bukan menyangga, melainkan menyanggah. BPPC menyanggah harga pasar dan menetapkan harga sendiri. Bukannya menyangga harga cengkih, BPPC justru membuat harga cengkih ambruk dan petani cengkih menangis dan merana.
Memori cengkih zaman penjajahan kembali hidup. Di zaman tanam paksa, penjajah membakar hasil panen cengkih supaya suplai tidak berlebihan dan harga di pasar tetap tinggi karena suplai terkendali. Di masa Orde Baru, hal yang sama terjadi lagi. Hasil panen yang berlimpah dihancurkan supaya tidak merusak harga.
Pada 1970-an para petani cengkih di sekitar Manado, Sulawesi Utara, menikmati kemakmuran yang tinggi. Dengan menjual 250 kilogram cengkih, petani sudah bisa membeli mobil sedan. Tapi, begitu harga cengkih dihancurkan oleh monopoli Orde Baru, para petani cengkih tidak bisa lagi membeli sedan, tetapi hanya bisa bersedu sedan.
Kejayaan petani cengkih mulai kacau setelah anak-anak Presiden Soeharto mulai beranjak dewasa dan mulai ikut berbisnis. Tiga anak tertua keluarga Cendana terjun ke dunia bisnis. Siti Hardijanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, dan Bambang Trihatmodjo berlomba-lomba terjun ke dunia bisnis.
Di awal masa-masa kekuasaanya, Soeharto masih relatif bersih dari korupsi. Tapi, sejak anak-anaknya beranjak dewasa dan terjun ke dunia bisnis, terjadilah praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang meluas. Berbagai konsesi dan monopoli diberikan kepada kroni yang mempunyai hubungan dengan bisnis keluarga.
Tommy, si bungsu laki-laki, adalah anak kesayangan Soeharto. Ia sangat disayang dan dimanja. Ia-lah sang Pangeran Cendana yang digadang-gadang akan bisa meneruskan takhta sang ayah. Namun, petualangan bisnis sang pangeran yang tidak terkontrol akhirnya menjadi salah satu faktor yang menjungkalkan kekuasan sang bapak.
Kelemahan Soeharto terletak pada anak-anaknya. Anak-anak Soeharto justru menjadi ”pengapesan” alias titik lemah yang bisa mematikan. Seperti tungkai achilles, Soeharto yang sakti mandraguna punya pengapesan pada tungkainya. Itulah anak-anak Soeharto. Ketika tungkai itu dibidik, ambruklah ia.
Itulah yang membawa konsekuensi buruk kepada orang tua yang tidak menyadari jebakan itu. Orang Jawa juga mengenal pepatah ”anak polah, bapak kepradah”. Karena anak bertingkah, bapak yang menanggung risikonya. Tingkah polah anak Soeharto itu akhirnya membuat Soeharto ”kepradah” dan harus lengser dengan pahit.
Para presiden Indonesia pasca-Soeharto mempunyai kisah yang berbeda-beda dalam mengelola anak-anaknya. Masa kepemimpinan Habibie dan Gus Dur yang singkat tidak banyak melahirkan cerita mengenai para pangeran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: