Telapak Tangan yang Bikin Masyhur

Telapak Tangan yang Bikin Masyhur

Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Kabupaten Jombang, menyimpan harta karun tak ternilai. Harta karun tak benda. Berupa karya seni budaya. Itulah satu-satunya kelenteng di Indonesia yang menjadi tempat pelestarian wayang potehi terbesar. Seni pertunjukan tradisional warga Tionghoa itu abadi berkat cinta dan tangan-tangan berdedikasi.

TONI Harsono, Ketua Kelenteng Hong San Kiong, menunjuk arah timur kelenteng. ’’Museum Potehi ada di situ,’’ ucapnya.

Sejurus kemudian, kakinya bersicepat melangkah. Melewati beberapa rumah. Juga kedai kopi. Yang dia tuju adalah sebuah gapura besar berwarna merah bata. Pagarnya merah. Bubungan atapnya berhias lengkungan khas arsitektur Tiongkok. Namun, puncaknya bukan burung hong (feng huang). Bukan pula naga (long). Yang bertengger di pucuk bubungan itu adalah bentuk menyerupai pagoda mini.

Gapura yang menghadap ke utara itu berhias prasasti bertulisan Tri Dharma Hong San Kiong. Sepasang qilin, hewan mitologis yang biasanya dimainkan dalam kesenian barongsai, mengapit prasasti itu. Di atasnya ada lima stupa kecil seperti yang terdapat di Candi Borobudur.

Tetapi, melangkah ke gapura itu, Museum Potehi belum jua tampak. Yang terlihat adalah sebuah sekolah. Juga truk-truk yang terparkir. ’’Ini milik kelenteng juga,’’ ucap Toni sambil terus melangkah.

Di tengah-tengah tanah lapang itu, ia berbelok ke kiri. Ke arah timur. Di situ ada tembok bata telanjang dengan pagar besi.

Di situlah Toni menyimpan ’’harta karun’’ itu: wayang potehi.

Museum Potehi, Gudo, adalah upaya Toni merawat dan menghidupkan kesenian wayang Potehi. ’’Tapi, ini masih belum jadi. Masih mbangun terus,’’ katanya.

Sebuah lemari kaca besar ada di dinding sebelah barat, di kiri pintu masuk. Puluhan boneka wayang potehi dipajang di situ. Di sebelah kanan lemari, di sisi utara, ada tulisan: Museum Potehi Gudo.


Sejumlah koleksi wayang potehi yang sudah berumur puluhan tahun di Museum Potehi Gudo.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Ruangan depan museum itu memang terasa ’’berantakan’’. Penuh barang-barang kuno. Bercampur dengan rangka dan mesin motor CB protholan yang memang digemari oleh Toni. Berbagai peranti pementasan wayang potehi ada di situ. Mulai boneka hingga alat-alat musik. Aromanya khas. Seperti apak kayu basah. Atau tanah basah. Bau masa silam…

Toni lalu mengajak Harian Disway menuju ruangan di tengah-tengah areal museum itu. Ruangan yang juga berdinding bata telanjang itu berpintu harmonika besi. Warnanya hitam. Dan itu bukan satu-satunya pintu. Di dalamnya juga masih ada pintu hitam dengan hiasan ukiran emas. Sebuah papan dengan tulisan hanzi (huruf Tiongkok) emas ada di atas pintu. Bunyinya: Fu He An. Nama kelompok wayang potehi milik Toni.

’’Kalau nggak gini, bisa hilang semua,’’ kata Toni sambil membuka gembok. Rupanya, pintu dobel itu masih belum cukup. Di dalam ruangan itu ada brankas kuno berwarna hitam. ’’Aduh, saya lupa kombinasinya,’’ ujarnya.

Setelah mengingat-ingat sejenak, barulah Toni bisa membuka brankas itu.

Dan membuka brankas itu seperti membuka pintu mesin waktu. Isi brankas seperti membawa kita jauh ke masa silam. Lebih jauh dari tahun 1920-an saat Tok Su Kwie, kakek Toni, hijrah dari Fujian ke Gudo. Lebih jauh dari abad ke-10, saat wayang Tiongkok sudah disebut-sebut dalam naskah kuno Nusantara.

Tetapi, isi brankas itu membawa jauuuh... Ke 3 ribuan tahun silam. Saat wayang potehi mulai muncul di Fujian, Tiongkok.
Penampilan kelompok wayang potehi Fu He An, milik Toni Harsono, di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, 26 Januari.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Konon, di masa Dinasti Ming, hiduplah Liang Bing Lin, seorang pelajar yang berkali-kali gagal ujian. Syahdan, Liang pun bersembahyang memohon agar bisa lulus ujian. Ia berdoa di Kelenteng Xian Gong Miao, di dekat Danau Jiu Li, Fujian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: