Tidur di Lantai agar Dekat Anak
Anak-anak dan bayi di Hong Kong harus dipisahkan dari orang tua mereka ketika terkena Covid-19. Publik pun marah. Mereka menganggap pemerintah kota itu tidak siap dalam menangani wabah.
LAURA, warga Hong Kong kelahiran Inggris, menangis tersedu-sedu. Dia galau. Putrinya, Ava, dinyatakan positif setelah dirawat di rumah sakit pada Minggu malam (20/2). Ava demam dan sesak napas.
Kini, kondisi sang putri sudah stabil setelah dirawat di ICU. Ava pun dipindahkan ke bangsal isolasi. Setidaknya selama tujuh hari. Tanpa orang tuanya.
Itulah yang membikin Laura galau. Perempuan berusia 32 tahun itu tidak bisa mendampingi sang putri. Sembari menangis, Laura berbicara kepada Agence France-Presse. Dia mengatakan siap tidur di rumah sakit. Di mana saja. Entah di koridor. Atau di lantai mana pun. Asalkan bisa dekat dengan sang putri.
Kondisi seperti itulah yang dikeluhkan warga Hong Kong. Sebab, pemerintah kota itu sedang ’’jahat’’. Kebijakan Zero Covid ala Tiongkok diberlakukan. Mereka sedang memerangi wabah yang membuat rumah sakit dan unit isolasi kehabisan ruang. Setiap hari, ribuan kasus anyar muncul.
Kebijakan itu ketat itu sukses membuat virus tertahan di luar Hong Kong selama dua tahun. Tetapi, ’’harganya’’ mahal. Hong Kong harus terisolasi dari dunia internasional selama itu.
Namun, varian Omicron—yang penularannya cepat itu—akhirnya bisa menyelinap masuk. Otoritas setempat pun merasa tersudut. Mereka dipandang gagal oleh masyarakat.
Tiongkok pun memerintahkan Hong Kong untuk terus mengetati kebijakannya. Siapa pun yang positif harus diisolasi meskipun kapasitas ruang isolasi itu sudah jauh terlampaui.
Warga pun kian gelisah saat mereka harus dipisahkan dengan anak-anaknya yang diisolasi. Kalangan profesional kesehatan memahami kecemasan itu. Siddharth Sridhar, seorang ahli mikrobiologi di University of Hong Kong, mencuit bahwa setidaknya harus ada satu orang tua yang mendampingi anak-anak positif itu. Kecuali bila kondisi anak sangat serius. ’’Dalam situasi genting seperti saat ini, orang harus tetap rasional dan penuh kasih,’’ katanya.
Yang dikhawatirkan kalangan medis adalah, isolasi yang ketat itu justru memicu penyebaran virus. ’’Saya takut, orang tua akan menunda pengobatan karena takut berpisah dengan anaknya,’’ cuit David Owen, seorang dokter.
Dalam grup-grup daring berisi orang tua, tampak kecemasan, kebingungan, dan ketakutan itu. Kunj Gandhi, salah seorang administrator grup di Facebook, mengakui itu. Ia menulis bahwa rumah sakit tidak lagi membiarkan orang tua menjaga anak-anak mereka. Bangsal rumah sakit sudah penuh. Orang tua memang mencoba melawan. Tetapi, mereka kalah. Akhirnya, mereka pun meninggalkan anak-anak mereka di rumah sakit.
Orang tua juga merasa gerah karena aturan social distancing yang ketat dan sering berubah-ubah. Bisnis menjadi suram. Pendidikan anak-anak terganggu.
Kondisi itu juga menggerakkan media Hong Kong. Misalnya, Oriental Daily yang selama ini dianggap kurang kritis. Mereka menerbitkan beberapa editorial yang mengecam para pemimpin kota. Kritik itu cukup mengejutkan. Cukup langka. Terlebih media-media di Hong Kong memang agak bungkam setelah gelombang demonstrasi pada 2019 dihadang secara keras oleh pemerintah.
Pada Selasa (22/2), Carrie Lam, pemimpin Hong Kong, mengumumkan bahwa libur musim panas akan dimajukan. Sebab, gedung sekolah menjadi tempat tes Covid-19 yang wajib dilakukan selama tiga kali sepanjang Maret.
Warga pun ingin hijrah meninggalkan Hong Kong. Tetapi, pindah pun tidak mudah. Penerbangan internasional sangat terbatas. (Puan Cantya Laxmi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: