Produsen Antigen Mati Langkah

Produsen Antigen Mati Langkah

PENGUSAHA Antigen di Indonesia sempat mengalami masa-masa keemasan. Saat semua aktivitas masyarakat memerlukan tes antigen, para pengusaha panen raya. Kini masa-masa gemilang itu mendadak pudar. Setelah pemerintah tidak lagi mewajibkan penumpang angkutan umum menunjukkan hasil negatif tes swab antigen maupun PCR.

Pengusaha produsen antigen dalam negeri kelabakan. Aturan yang tertuang dalam SE Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 11 Tahun 2022 itu dinilai terlalu mendadak. ”Yang jelas, kebijakan yang tiba-tiba itu berdampak besar bagi industri kami,” kata Dirut PT Taishan Alat Kesehatan Indonesia Eko Sihombing.

Banyak produsen yang kaget dan tidak siap. Kebijakan itu mengacaukan ritme dan ongkos produksi. Terutama menyangkut material yang dipersiapkan sebelumnya. Produsen telanjur memesan material dalam jumlah seperti biasanya.

”Kalau dikasih tahu lebih dulu, kami kan bisa siap-siap. Misalnya bisa mengurangi karyawan,” jelasnya. Setidaknya satu bulan sebelumnya. Sehingga proses produksi bisa dihentikan. Meski begitu, Eko belum bisa memprediksi total kerugian yang ia alami.

Menurut Eko, kebijakan itu jelas kontraproduktif. Mengingat sebelumnya pemerintah mendorong perusahaan alat kesehatan lebih produktif. Agar bisa menyaingi produk luar negeri. Bahkan sempat direkomendasikan kepada para investor.

CALON penumpang di Stasiun Kereta Api Gubeng, Surabaya, memindai QR Code aplikasi PeduliLindungi. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)

Sekarang, para pengusaha mati langkah. Asosiasi juga tidak berkutik karena tidak punya kekuatan untuk memengaruhi kebijakan. ”Jadi belum tahu bagaimana ke depan. Kita lihat perkembangannya. Kalau dihentikan seperti ini ya jelas investor nggak ada yang berani investasi,” jelasnya.

Sekjen Asosiasi Peneliti Manufaktur dan Alat Kesehatan Indonesia (APMAKI) Ardy Susanto juga mengeluhkan hal serupa. Produksi alat kesehatan dalam negeri menjadi concern pemerintah dua tahun belakangan. Sebab, pasar alat kesehatan masih dibanjiri produk impor dengan harga yang melangit.

”Makanya kami dorong dengan bikin manufaktur yang harganya selisih sangat jauh,” ucapnya. Perbandingan harganya memang nyaris seratus persen.

Satu kotak berisi 25 set antigen impor harganya Rp 1,5 juta. Sedangkan antigen dalam negeri bisa diproduksi sekitar Rp 400 ribu - Rp 800 ribu. Proses produksinya pun memakai tenaga lokal. Diproduksi oleh UMKM.

Ia menilai penghapusan antigen sebagai syarat perjalanan itu terlalu dini. Mengingat total kasus Covid-19 masih tinggi meski tren kasus hariannya mulai menurun. Bagaimanapun Covid-19 masih ada.

Sehingga tanpa tracing yang baik, akibatnya juga tak baik ke masyarakat. Itu yang harus diperhatikan. Sebab, tidak menutup kemungkinan orang positif Covid-19 berkeliaran. Bahkan bisa bepergian via kereta api maupun pesawat.

”Nanti bisa menulari ke yang sehat. Ini yang menurut saya tidak bisa diabaikan,” jelas Ardy. Lebih baik tracing diterapkan bagi para penumpang. Setidaknya memakai tes antigen. Toh, harganya juga tak mahal.

Hanya perlu menambah Rp 35 ribu demi keamanan bersama. Terutama bagi yang punya komorbid. Karena satu orang bisa menulari semua penumpang. Simulasi itu harus diperhitungkan. “Pada prinsipnya kebijakan itu bagus. Tapi saya khawatir bisa jadi bom waktu,” katanya.

PELAYANAN tes antigen di Stasiun Gubeng Surabaya masih beroperasi kemarin. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)

Di sisi lain, syarat perjalanan darat, udara, dan laut otomatis makin longgar. Para penumpang tidak perlu lagi menyerahkan hasil negatif tes antigen maupun PCR. Tentu khusus bagi yang sudah divaksin dosis lengkap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: